Senin, 29 November 2010

Tokoh Sosiologi

Bapak Sosiologi Indonesia

Prof Dr KPH Selo Soemardjan

Seorang lagi putera bangsa terbaik telah tiada. Ia ‘Bapak Sosiologi Indonesia’ Prof Dr Kanjeng Pangeran Haryo Selo Soemardjan (88), meninggal dunia Rabu 11/6/03 pukul 12.55 di Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta, karena komplikasi jantung dan stroke. Sosiolog yang mantan camat kelahiran Yogyakarta, 23 Mei 1915 ini dikebumikan di Pemakaman Kuncen, Yogyakarta, hari Kamis 12/6/03 pukul 12.00 WIB. Penerima Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah ini adalah pendiri sekaligus dekan pertama Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (kini FISIP-UI) dan sampai akhir hayatnya dengan setia menjadi dosen sosiologi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI).
Ia meninggalkan lima anak, 15 cucu dan dua cicit. Istrinya, RR Suleki Brotoatmodjo, dan putra keduanya, Budihardjo, sudah lebih dulu berpulang. Jenazah disemayamkan di rumah kediaman Jl Kebumen 5, Menteng, Jakarta Pusat. Sangat banyak kerabat yang melayat, sehingga jalan sekitar sempat macet karena banyaknya kendaraan yang diparkir.
Kemudian Kamis (12/6) pukul 06.00, jenazah diterbangkan ke Yogyakarta, kota kelahirannya (Jl Kemetiran Kidul II/745, Kuncen) dengan pesawat Garuda GA 200. Jenazah akan disemayamkan di Masjid Kuncen sebelum dimakamkan di Pemakaman Kuncen, Yogyakarta, hari ini pukul 12.00 WIB.
Salah seorang anaknya mengatakan hari Senin pukul 05.00, beliau mulai dirawat di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita karena gangguan jantung. Rabu pukul 10.30 kena stroke. Dokter berusaha keras memberi bantuan pernapasan lewat alat-alat pernapasan, tetapi karena jantungnya terus melemah, usaha tersebut gagal. Sosiolog ini meninggal di tengah keluarga dan kerabat. Sekitar pukul 09.00 almarhum masih sempat tertawa-tawa menonton acara televisi yang memutar film Benyamin Samson Betawi. Tetapi, sekitar pukul 11.00 ia terlihat sesak napas.
Almarhum meninggalkan contoh yang baik, teladan, bukan hanya bgi keluarga tetapi bagi kerabat dan masyarakat umum. Ia dikenal sangat disiplin dan selalu memberi teladan konkret. Ia ilmuwan yang meninggalkan banyak bekal ilmu pengetahuan. Sebetulnya ia sudah purnatugas di Universitas Indonesia (UI). Tapi, karena masih dibutuhkan, ia tetap mengajar dengan semangat tinggi. Ia memang seorang sosok berintegritas, punya komitmen sosial yang tinggi dan sulit untuk diam.
Ia orang yang tidak suka memerintah, tetapi memberi teladan. Hidupnya lurus, bersih, dan sederhana. Ia tokoh yang memerintah dengan teladan, sebagaimana diungkapkan pengusaha sukses Soedarpo Sastrosatomo. Menurut Soedarpo, integritas itu pula yang membuat mendiang Sultan Hamengku Buwono IX berpesan kepada putranya, Sultan Hamengku Buwono X agar selalu mendengarkan dan meminta nasihat kepada Selo kalau menyangkut persoalan sosial kemasyarakatan. Ia orang yang tidak pernah berhenti berpikir dan bertindak.
Ia seorang dari sedikit orang yang sangat pantas menyerukan hentikan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Pantas karena ia bukan tipe maling teriak maling. Ia orang orang bersih yang dengan perangkat ilmu dan keteladanannya bisa menunjukkan bahwa praktik KKN itu merusak tatanan sosial. Ia pantas menjadi teladan kaum birokrat karena etos kerjanya yang tinggi dalam mengabdi kepada masyarakat.
Tidak heran jika banyak kalangan yang melayat ke rumah duka menyampaikan belasungkawa. Di antaranya Dekan FISIP UI Gumilar Rusliwa Sumantri dan Rektor UI Usman Chatib Warsa, Wakil Rektor Arie S Soesilo, mantan Mendikbud Fuad Hassan, Guru Besar Ilmu Politik FISIP UI Miriam Budiardjo, mantan Ketua LIPI Taufik Abdullah, Ketua LIPI Anggara Jeni, Ketua LKBN Antara Muhammad Sobary, tokoh pers Jacob Oetama, pengusaha sukses Soedarpo Sastrosatomo, Sosiolog Paulus Wirutomo, rohaniwan dan budayawan Mudji Sutrisno SJ, Melly G Tan, sejarawan Taufik Abdullah, politisi dan musisi Eros Djarot serta antropolog Prof Dr Ichromi.
Selama hidupnya, Selo pernah berkarier sebagai pegawai Kesultanan/Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, Kepala Staf Sipil Gubernur Militer Jakarta Raya, dan Kepala Sekretariat Staf Keamanan Kabinet Perdana Menteri, Kepala Biro III Sekretariat Negara merangkap Sekretaris Umum Badan Pemeriksa Keuangan, Sekretaris Wakil Presiden RI Sultan Hamengku Buwono IX (1973-1978), Asisten Wakil Presiden Urusan Kesejahteraan Rakyat (1978-1983) dan staf ahli Presiden HM Soeharto.
Ia dikenal sebagai Bapak Sosiologi Indonesia setelah tahun 1959 — seusai meraih gelar doktornya di Cornell University, AS — mengajar sosiologi di Universitas Indonesia (UI). Dialah pendiri sekaligus dekan pertama (10 tahun) Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (sekarang FISIP) UI. Kemudian tanggal 17 Agustus 1994, ia menerima Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah dan pada tanggal 30 Agustus menerima gelar ilmuwan utama sosiologi.
Pendiri FISIP UI ini, memperoleh gelar profesor dari Fakultas Ekonomi UI dan sampai akhir hayatnya justeru mengajar di Fakultas Hukum UI.
Ia dibesarkan di lingkungan abdi dalem Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat. Kakeknya, Kanjeng Raden Tumenggung Padmonegoro, adalah pejabat tinggi di kantor Kasultanan Yogyakarta. Berkat jasa sang kakek, Soemardjan- begitu nama aslinya-mendapat pendidikan Belanda.
Nama Selo dia peroleh setelah menjadi camat di Kabupaten Kulonprogo. Ini memang cara khusus Sultan Yogyakarta membedakan nama pejabat sesuai daerahnya masing-masing. Saat menjabat camat inilah ia merasa mengawali kariernya sebagai sosiolog. “Saya adalah camat yang mengalami penjajahan Belanda, masuknya Jepang, dilanjutkan dengan zaman revolusi. Masalahnya banyak sekali,” tuturnya suatu ketika sebagaimana ditulis Kompas.
Pengalamannya sebagai camat membuat Selo menjadi peneliti yang mampu menyodorkan alternatif pemecahan berbagai persoalan sosial secara jitu. Ini pula yang membedakan Selo dengan peneliti lain.
Mendiang Baharuddin Lopa dalam salah satu tulisannya di Kompas (1993) menulis, “Pak Selo menggali ilmu langsung dari kehidupan nyata. Setelah diolah, dia menyampaikan kembali kepada masyarakat untuk dimanfaatkan guna kesejahteraan bersama.” Lopa menilai Selo sebagai dosen yang mampu mendorong mahasiswanya berpikir realistis dan mengerti serta menghayati apa yang diajarkannya. “Pendekatan realistis dan turun ke bawah untuk mengetahui keadaan sosial yang sesungguhnya inilah yang dicontohkan juga oleh para nabi dan kalifah,” tulis Lopa.
Meski lebih dikenal sebagai guru besar, Selo jauh dari kesan orang yang suka “mengerutkan kening”. Di lingkungan keluarga dan kampus, dia justru dikenal sebagai orang yang suka melucu dan kaya imajinasi, terutama untuk mengantar mahasiswanya pada istilah-istilah ilmu yang diajarkannya. “Kalau menjelaskan ilmu ekonomi mudah dimengerti karena selalu disertai contoh-contoh yang diambil dari kehidupan nyata masyarakat,” kenang Baharuddin Lopa.
Dalam tulisan Lopa, Selo juga digambarkan sebagai orang yang bicaranya kocak, tetapi mudah dimengerti karena memakai bahasa rakyat. Meski kata-katanya mengandung kritikan, karena disertai humor, orang menjadi tidak tegang mendengarnya.
Menurut putra sulungnya, Hastjarjo, Selo suka main. “Setiap hari selalu memainkan tubuhnya berolahraga senam. Karena terkesan lucu, cucu-cucu menganggap bapak sedang bermain-main dengan tubuhnya,” tambahnya.
Sebagai ilmuwan, karya Selo yang sudah dipublikasikan adalah Social Changes in Yogyakarta (1962) dan Gerakan 10 Mei 1963 di Sukabumi (1963). Penelitian terakhir Selo berjudul Desentralisasi Pemerintahan. Terakhir ia menerima Anugerah Hamengku Buwono (HB) IX dari Universitas Gadjah Mada (UGM) pada puncak peringatan Dies Natalis Ke-52 UGM tanggal 19 Januari 2002 diwujudkan dalam bentuk piagam, lencana, dan sejumlah uang.
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia), dari berbagai sumber

Maximilian Weber

Maximilian Weber (lahir di Erfurt, Jerman, 21 April 1864 - wafat di München, Jerman, 14 Juni 1920 pada umur 56 tahun) adalah seorang ahli ekonomi politik dan sosiolog dari Jerman yang dianggap sebagai salah satu pendiri ilmu sosiologi dan administrasi negara modern. Karya utamanya berhubungan dengan rasionalisasi dalam sosiologi agama dan pemerintahan, meski ia sering pula menulis di bidang ekonomi. Karyanya yang paling populer adalah esai yang berjudul Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, yang mengawali penelitiannya tentang sosiologi agama. Weber berpendapat bahwa agama adalah salah satu alasan utama bagi perkembangan yang berbeda antara budaya Barat dan Timur. Dalam karyanya yang terkenal lainnya, Politik sebagai Panggilan, Weber mendefinisikan negara sebagai sebuah lembaga yang memiliki monopoli dalam penggunaan kekuatan fisik secara sah, sebuah definisi yang menjadi penting dalam studi tentang ilmu politik Barat modern.
Sosiologi agama
Karya Weber dalam sosiologi agama bermula dari esai Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme dan berlanjut dengan analisis Agama Tiongkok: Konfusianisme dan Taoisme, Agama India: Sosiologi Hindu dan Buddha, dan Yudaisme Kuno. Karyanya tentang agama-agama lain terhenti oleh kematiannya yang mendadak pada 1920, hingga ia tidak dapat melanjutkan penelitiannya tentang Yudaisme Kuno dengan penelitian-penelitian tentang Mazmur, Kitab Yakub, Yahudi Talmudi, Kekristenan dan Islam perdana.
Tiga tema utamanya adalah efek pemikiran agama dalam kegiatan ekonomi, hubungan antara stratifikasi sosial dan pemikiran agama, dan pembedaan karakteristik budaya Barat.
Tujuannya adalah untuk menemukan alasan-alasan mengapa budaya Barat dan Timur berkembang mengikuti jalur yang berbeda. Dalam analisis terhadap temuannya, Weber berpendapat bahwa pemikiran agama Puritan (dan lebih luas lagi, Kristen) memiliki dampak besar dalam perkembangan sistem ekonomi Eropa dan Amerika Serikat, tapi juga mencatat bahwa hal-hal tersebut bukan satu-satunya faktor dalam perkembangan tersebut. Faktor-faktor penting lain yang dicatat oleh Weber termasuk rasionalisme terhadap upaya ilmiah, menggabungkan pengamatan dengan matematika, ilmu tentang pembelajaran dan yurisprudensi, sistematisasi terhadap administrasi pemerintahan dan usaha ekonomi. Pada akhirnya, studi tentang sosiologi agama, menurut Weber, semata-mata hanyalah meneliti meneliti satu fase emansipasi dari magi, yakni “pembebasan dunia dari pesona” (”disenchanment of the world”) yang dianggapnya sebagai aspek pembeda yang penting dari budaya Barat.
Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme
magnify clip Tokoh Sosiologi
Sampul salah satu edisi The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism.
Esai Weber Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme (Die protestantische Ethik und der Geist des Kapitalismus) adalah karyanya yang paling terkenal. Dikatakan bahwa tulisannya ini tidak boleh dipandang sebagai sebuah penelitian mendetail terhadap Protestanisme, melainkan lebih sebagai perkenalan terhadap karya-karya Weber selanjutnya, terutama penelitiannya tentang interaksi antara berbagai gagasan agama dan perilaku ekonomi.
Dalam Etika Protestan dan Semangant Kapitalisme, Weber mengajukan tesis bahwa etika dan pemikiran Puritan mempengaruhi perkembangan kapitalisme. Bakti keagamaan biasanya disertai dengan penolakan terhadap urusan duniawi, termasuk pengejaran ekonomi. Mengapa hal ini tidak terjadi dalam Protestanisme? Weber menjelaskan paradoks tersebut dalam esainya.
Ia mendefinisikan “semangat kapitalisme” sebagai gagasan dan kebiasaan yang mendukung pengejaran yang rasional terhadap keuntungan ekonomi. Weber menunjukkan bahwa semangat seperti itu tidak terbatas pada budaya Barat, apabila dipertimbangkan sebagai sikap individual, tetapi bahwa individu-individu seperti itu — para wiraswasta yang heroik, begitu Weber menyebut mereka — tidak dapat dengan sendirinya membangun sebuah tatanan ekonomi yang baru (kapitalisme). Di antara kecenderungan-kecenderungan yang diidentifikasikan oleh Weber adalah keserakahan akan keuntungan dengan upaya yang minimum, gagasan bahwa kerja adalah kutuk dan beban yang harus dihindari, khususnya apabila hal itu melampaui apa yang secukupnya dibutuhkan untuk hidup yang sederhana. “Agar suatu cara hidup yang teradaptasi dengan baik dengan ciri-ciri khusus kapitalisme,” demikian Weber menulis, “dapat mendominasi yang lainnya, hidup itu harus dimulai di suatu tempat, dan bukan dalam diri individu yang terisolasi semata, melainkan sebagai suatu cara hidup yang lazim bagi keseluruhan kelompok manusia.”
Setelah mendefinisikan semangat kapitalisme, Weber berpendapat bahwa ada banyak alasan untuk mencari asal-usulnya di dalam gagasan-gagasan keagamaan dari Reformasi. Banyak pengamat seperti William Petty, Montesquieu, Henry Thomas Buckle, John Keats, dan lain-lainnya yang telah berkomentar tentang hubungan yang dekat antara Protestanisme dengan perkembangan semangat perdagangan.
Weber menunjukkan bahwa tipe-tipe Protestanisme tertentu mendukung pengejaran rasional akan keuntungan ekonomi dan aktivitas duniawi yang telah diberikan arti rohani dan moral yang positif. Ini bukanlah tujuan dari ide-ide keagamaan, melainkan lebih merupakan sebuah produk sampingan – logika turunan dari doktrin-doktrin tersebut dan saran yang didasarkan pada pemikiran mereka yang secara langsung dan tidak langsung mendorong perencanaan dan penyangkalan-diri dalam pengejaran keuntungan ekonomi.
Weber menyatakan dia menghentikan riset tentang Protestanisme karena koleganya Ernst Troeltsch, seorang teolog profesional, telah memulai penulisan buku The Social Teachings of the Christian Churches and Sects. Alasan lainnya adalah esai tersebut telah menyediakan perspektif untuk perbandingan yang luas bagi agama dan masyarakat, yang dilanjutkannya kelak dalam karya-karyanya berikutnya.
Frase “etika kerja” yang digunakan dalam komentar modern adalah turunan dari “etika Protestan” yang dibahas oleh Weber. Istilah ini diambil ketika gagasan tentang etika Protestan digeneralisasikan terhadap orang Jepang, orang Yahudi, dan orang-orang non-Kristen.
Agama Tiongkok: Konfusianisme dan Taoisme
Agama Tiongkok: Konfusianisme dan Taoisme adalah karya besar Weber yang kedua dalam sosiologi agama. Weber memusatkan perhatian pada aspek-aspek dari masyarakat Tiongkok yang berbeda dengan masyarakat Eropa Barat dan khususnya dikontraskan dengan Puritanisme. Weber melontarkan pertanyaan, mengapa kapitalisme tidak berkembang di tiongkok. Dalam Seratus Aliran Pemikiran Masa Peperangan Antar-Negara, ia memusatkan pengkajiannya pada tahap awal sejarah Tiongkok. Pada masa itu aliran-aliran pemikiran Tiongkok yang besar (Konfusianisme dan Taoisme) mengemuka.
Pada tahun 200 SM, negara Tiongkok telah berkembang dari suatu federasi yang kendur dari negara-negara feodal menjadi suatu kekaisaran yang bersatu dengan pemerintahan Patrimonial, sebagaimana digambarkan dalam Masa Peperangan Antar-Negara.
Seperti di Eropa, kota-kota di Tiongkok dibangun sebagai benteng atau tempat tinggal para pemimpinnya, dan merupakan pusat perdagangan dan kerajinan. Namun, mereka tidak pernah mendapatkan otonomi politik, dan para warganya tidak mempunyai hak-hak politik khusus. Ini disebabkan oleh kekuatan ikatan-ikatan kekerabatan, yang muncul dari keyakinan keagamaan terhadap roh-roh leluhur. Selain itu, gilda-gilda saling bersaing memperebutkan perkenan Kaisar, tidak pernah bersatu untuk memperjuangkan lebih banyak haknya. Karenanya, para warga kota-kota di Tiongkok tidak pernah menjadi suatu kelas status terpisah seperti para warga kota Eropa.
Weber membahas pengorganisasian konfederasi awal, sifat-sifat yang unik dari hubungan umat Israel dengan Yahweh, pengaruh agama-agama asing, tipe-tipe ekstasi keagamaan, dan perjuangan para nabi dalam melawan ekstasi dan penyembahan berhala. Ia kemudian menggambarkan masa-masa perpecahan Kerajaan Israel, aspek-aspek sosial dari kenabian di zaman Alkitab, orientasi sosial para nabi, para pemimpin yang sesat dan penganjur perlawanan, ekstasi dan politik, dan etika serta teodisitas (ajaran tentang kebaikan Allah di tengah penderitaan) dari para nabi.
Weber mencatat bahwa Yudaisme tidak hanya melahirkan agama Kristen dan Islam, tetapi juga memainkan peranan penting dalam bangkitnya negara Barat modern, karena pengaruhnya sama pentingnya dengan pengaruh yang diberikan oleh budaya-budaya Helenistik dan Romawi.
Reinhard Bendix, yang meringkas Yudaisme Kuno, menulis bahwa “bebas dari spekulasi magis dan esoterik, diabdikan kepada pengkajian hukum, gigih dalam upaya melakukan apa yang benar di mata Tuhan dalam pengharapan akan masa depan yang lebih baik, para nabi membangun sebuah agama iman yang menempatkan kehidupan sehari-hari manusia di bawah kewajiban-kewajiban yang ditetapkan oleh hukum moral yang telah diberikan Tuhan. Dengan cara ini, Yudaisme kuno ikut membentuk rasionalisme moral dari peradaban Barat.”
Referensi
Karya Weber pada umumnya dikutip menurut Gesamtausgabe kritis (edisi kumpulan tulisan), yang diterbitkan oleh Mohr Siebeck di Tübingen, Jerman.
Bendix, Reinhard (1960). Max Weber: An Intellectual Portrait. Doubleday. ISBN 052003194
Kaesler, Dirk (1989). Max Weber: An Introduction to His Life and Work. University of Chicago Press. ISBN 0-226-42560-6
Mommsen, Wolfgang (1959/1974). Max Weber and German Politics, 1890-1920. J.C.B. Mohr (Paul Siebeck). ISBN 0-226-53399-9
Roth, Guenther (2001). Max Webers deutsch-englische Familiengeschichte. J.C.B. Mohr (Paul Siebeck). ISBN 3-16-147557-7
Weber, Marianne (1926/1988). Max Weber: A Biography. New Brunswick: Transaction Books. ISBN 0-471-92333-8
Richard Swedberg “Max Weber as an Economist and as a Sociologist”, American Journal of Economics and Sociology
Richard Swedberg, Max Weber and the Idea of Economic Sociology. Princeton: Princeton University Press. ISBN 0-691-07013-X
Korotayev A., Malkov A., Khaltourina D. Introduction to Social Macrodynamics. Moscow: URSS, 2006. ISBN 5-484-00414-4 1 (Chapter 6: Reconsidering Weber: Literacy and “the Spirit of Capitalism”).
Radkau, Joachim (2005). Max Weber The most important Weber-biography on Max Weber’s life and torments since Marianne Weber
http://id.wikipedia.org/wiki/Max_Weber

Auguste Comte

Auguste Comte (Nama panjang: Isidore Marie Auguste François Xavier Comte; 17 Januari 17985 September 1857) adalah seorang ilmuwan dari Perancis yang dijuluki sebagai “bapak sosiologi“. Dia dikenal sebagai orang pertama yang mengaplikasikan metode ilmiah dalam ilmu sosial.
Kehidupan
Comte lahir di Montpellier, sebuah kota kecil di bagian barat daya dari negara Perancis. Setelah bersekolah disana, ia melanjutkan pendidikannya di Politeknik École di Paris. Politeknik École saat itu terkenal dengan kesetiaannya kepada idealis republikanisme dan filosofi proses. Pada tahun 1818, politeknik tersebut ditutup untuk direorganisasi. Comte pun meninggalkan École dan melanjutkan pendidikannya di sekolah kedokteran di Montpellier.
Tak lama kemudian, ia melihat sebuah perbedaan yang mencolok antara agama Katolik yang ia anut dengan pemikiran keluarga monarki yang berkuasa sehingga ia terpaksa meninggalkan Paris. Kemudian pada bulan Agustus 1817 dia menjadi murid sekaligus sekertaris dari Claude Henri de Rouvroy, Comte de Saint-Simon, yang kemudian membawa Comte masuk ke dalam lingkungan intelek. Pada tahun 1824, Comte meninggalkan Saint-Simon karena lagi-lagi ia merasa ada ketidakcocokan dalam hubungannya.
Saat itu, Comte mengetahui apa yang ia harus lakukan selanjutnya: meneliti tentang filosofi positivisme. Rencananya ini kemudian dipublikasikan dengan nama Plan de travaux scientifiques nécessaires pour réorganiser la société (1822) (Indonesia: Rencana studi ilmiah untuk pengaturan kembali masyarakat). Tetapi ia gagal mendapatkan posisi akademis sehingga menghambat penelitiannya. Kehidupan dan penelitiannya kemudian mulai bergantung pada sponsor dan bantuan finansial dari beberapa temannya.
Ia kemudian menikahi seorang wanita bernama Caroline Massin. Comte dikenal arogan, kejam dan mudah marah sehingga rujukan? pada tahun 1826 dia dibawa ke sebuah rumahsakit mental, tetapi ia kabur sebelum sembuh. kemudian–setelah kondisinya distabilkan oleh Massin–ia mengerjakan kembali apa yang dulu direncanakannya. Namun sayangnya, ia bercerai dengan Massin pada tahun 1842 karena alasan yang belum diketahui. Saat-saat diantara pengerjaan kembali rencananya sampai pada perceraiannya, ia mempublikasikan bukunya yang berjudul Cours.
Pada tahun 1844, Comte menjalin kasih dengan Clotilde de Vaux, dalam hubungan yang tetap platonis. Setelah Clotilde wafat, kisah cinta ini menjadi quasi-religius. Tak lama setelahnya, Comte, yang merasa dirinya adalah seorang penemu sekaligus seorang nabi dari “agama kemanusiaan” (religion of humanity), menerbitkan bukunya yang berjudul Système de politique positive (18511854).
Dia wafat di Paris pada tanggal 5 September 1857 dan dimakamkan di Cimetière du Père Lachaise.
Peninggalan
motto Ordem e Progresso (”Order and Progress”) yang tertulis pada bendera Brazil terinspirasi dari motto postivisme August Comte: L’amour pour principe et l’ordre pour base; le progrès pour but (”Cinta sebagai sebuah prinsip dan perintah sebagai basisnya; proses sebagai tujuannya”). Kata-kata tersebut dijadikan motto karena berdasarkan fakta, orang-orang yang melakukan kudeta militer yang kemudian menjatuhkan monarki dan memproklamasikan Brazil sebagai republik adalah para pengikut pemikiran Comte.
Comte melihat satu hukum universal dalam semua ilmu pengetahuan yang kemudian ia sebut sebagai ‘hukum tiga fase’. Melalui hukumnya ia mulai dikenal di seluruh wilayah berbahasa Inggris (English-speaking world); menurutnya, masyarakat berkembang melalui tiga fase: Teologi, Metafisika, dan tahap positif (atau sering juga disebut “tahap ilmiah”).
Fase Teologi dilihat dari prespektif abad ke-19 sebagai permulaan abad pencerahan, dimana kedudukan seorang manusia dalam masyarakat dan pembatasan norma dan nilai manusia didapatkan didasari pada perintah Tuhan. Meskipun memiliki sebutan yang sama, fase Metafisika Comte sangat berbeda dengan teori Metafisika yang dikemukakan oleh Aristoteles atau ilmuwan Yunani kuno lainnya; pemikiran Comte berakar pada permasalahan masyarakat Perancis pasca-revolusi PerancisRevolusi. Fase Metafisika ini merupakan justifikasi dari “hak universal” sebagai hal yang pada  atas   suatu wahana  yang   lebih tinggi dibanding otoritas tentang segala  penguasa/penggaris   manusia untuk membatalkan perintah lalu, walaupun berkata  hak/ kebenaran   tidaklah disesuaikan kepada yang suci di luar semata-mata kiasan. Apa yang ia mengumumkan dengan istilah nya Tahap yang ilmiah, Yang menjadi nyata setelah kegagalan revolusi dan  tentang   Napoleon, orang-orang bisa temukan solusi ke permasalahan sosial dan membawa  mereka/nya   ke dalam kekuatan di samping proklamasi hak azasi manusia atau nubuatan kehendak Tuhan. Mengenai ini ia adalah serupa untuk Karl Marx Dan Jeremy Bentham. Karena waktu nya, ini gagasan untuk suatu Tahap ilmiah telah dipertimbangkan terbaru, walaupun dari suatu sudut pandang kemudiannya  itu   adalah  yang   terlalu derivative untuk ilmu fisika klasik dan sejarah akademis.
Hukum universal lain  yang   ia  memanggil/hubungi   ’ hukum yang seperti ensiklopedi’. Dengan kombinasi hukum ini, Comte mengembang;kan suatu penggolongan  yang   hirarkis dan sistematis dari semua ilmu pengetahuan, termasuk ilmu fisika tidak tersusun teratur ( ilmu perbintangan, ilmu pengetahuan bumi dan ilmu kimia) dan ilmu fisika organik ( biologi dan untuk pertama kali, bentuk badan sociale, dinamai kembali kemudiannya sociologie).
Ini gagasan untuk suatu science-not khusus ras manusia,  yang   bukan metaphysics-for sosial adalah terkemuka abad yang 19th dan tidak unik ke Comte. Ambitious-Many akan kata kan grandiose-way yang Comte membayangkan tentangnya, bagaimanapun, adalah unik.
Comte lihat ilmu pengetahuan baru ini, sosiologi,  seperti;sebagai;ketika    yang   terbesar dan yang ter  akhir dari semua ilmu pengetahuan, apa yang itu akan meliputi semua lain ilmu pengetahuan, dan yang akan mengintegrasikan dan menghubungkan penemuan mereka ke dalam suatu  yang   utuh kompak.
Comte’S penjelasan Filosofi yang positif memperkenalkan hubungan yang penting antar a   teori, praktek dan pemahaman manusia dunia. Pada  atas   halaman 27 yang 1855  yang   mencetak Harriet Martineau‘S terjemahan Filosofi Auguste  yang   Yang positif Comte, kita lihat pengamatan nya bahwa, ” Jika adalah benar bahwa tiap-tiap teori harus didasarkan diamati fakta,  itu   dengan sama benar yang fakta tidak bisa diamati tanpa bimbingan beberapa teori. Tanpa . seperti (itu) bimbingan, fakta  kita/kami   akan bersifat tanpa buah dan tak teratur; kita tidak bisa mempertahankan  mereka/nya  : sebagian terbesar kita tidak bisa genap merasa  mereka/nya  . ( Comte, A. ( 1974 cetak ulang). Filosofi yang positif Auguste Comte  yang   dengan  cuma-cuma/bebas   yang diterjemahkan dan yang dipadatkan oleh Harriet Martineau. New York, NY: ADALAH Tekanan. ( Pekerjaan asli menerbitkan 1855, New York, NY: Calvin Blanchard, p. 27.)
Ia coined kata an   ”altruism” untuk mengacu pada apa yang ia percaya untuk menjadi kewajiban moral individu untuk melayani (orang) yang lain dan menempatkan minat mereka di atas diri sendiri. Ia menentang;kan  itu   gagasan untuk  hak/ kebenaran   individu, pemeliharaan yang mereka tidaklah konsisten dengan etis diharapkan ini ( Ini ( Catechisme Positiviste).
Seperti   yang telah menyebutkan, Comte merumuskan hukum tiga langkah-langkah, salah satu  dari   teori yang pertama evolutionism yang sosial: pengembangan manusia itu ( kemajuan sosial) maju dari theological langkah, di mana alam i   secara dongengan dipahami/dikandung dan orang  laki-laki   mencari penjelasan  dari;ttg   gejala alami dari mahluk hal-hal yang gaib, melalui/sampai metaphysical langkah di mana alam i   telah membayangkan sebagai hasil mengaburkan kekuatan dan orang  laki-laki   mencari penjelasan  dari;ttg   gejala alami dari  mereka/nya   sampai yang akhir  itu   Positive Langkah di mana semua abstrak dan mengaburkan kekuatan dibuang, dan gejala alami diterangkan oleh hubungan tetap mereka. Kemajuan ini dipaksa melalui/sampai pengembangan pikiran manusia, dan meningkat(kan) aplikasi pikiran, pemikiran dan logika kepada pemahaman dunia.
Di (dalam) Seumur hidup Comte’s, pekerjaan nya kadang-kadang dipandang secara skeptis sebab ia telah mengangkat Paham positifisme untuk a agama dan yang telah nama  sen  dirinya Sri Paus Paham positifisme. Ia coined istilah ” sosiologi” untuk menandakan ilmu pengetahuan masyarakat yang baru    . Ia mempunyai lebih awal menggunakan ungkapan  itu  , ” ilmu fisika sosial,” untuk mengacu pada ilmu pengetahuan masyarakat yang positif; tetapi sebab (orang) yang lain,  yang   khususnya Orang statistik Belgia Adolphe Quetelet, dimulai yang telah untuk menggunakan itu memasukkan  adalah   suatu maksud/arti berbeda, Comte merasa kan kebutuhan  itu   untuk menemukan  itu   pembentukan kata baru, ” sosiologi,” a hybrid tentang Latin ” socius” (” teman”) dan Yunani”?????” ( Logo, ” Kata An  “).
Comte biasanya dihormati  ketika;seperti   lebih dulu Sarjana sosiologi barat ( Ibn Khaldun setelah didahului dia di (dalam) Timur dengan hampir empat berabad-abad). Penekanan Comte’s pada  atas   saling behubungan  dari;ttg   unsur-unsur sosial adalah suatu pertanda  dari;ttg   modern functionalism. Meskipun demikian,  seperti/ketika   dengan (orang) yang lain banyak orang  dari;ttg   Waktu Comte’s, unsur-unsur  yang   tertentu  dari;ttg   pekerjaan nya kini dipandang sebagai tak ilmiah dan eksentrik, dan visi agung sosiologi nya  sebagai/ketika   benda hiasan di tengah meja dari semua ilmu pengetahuan belum mengakar.
Penekanan nya pada  atas   suatu kwantitatif, mathematical basis untuk pengambilan keputusan tinggal dengan  kita/kami   hari ini.  Ini   merupakan suatu pondasi bagi dugaan Paham positifisme yang modern, analisa statistik kwantitatif modern, dan pengambilan keputusan bisnis. Uraian nya hubungan siklis yang berlanjut antar a   teori dan praktek dilihat di sistem bisnis modern Total Manajemen Berkwalitas dan Peningkatan Mutu Berlanjut  di mana/jika   advokat menguraikan suatu siklus teori  yang   berlanjut dan praktek melalui/sampai four-part siklus rencana,, cek, dan bertindak. Di samping pembelaan analisis kuantitatif nya, Comte lihat suatu batas dalam kemampuan nya untuk membantu menjelaskan gejala sosial.
Popularity: 72% [?]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar