Senin, 29 November 2010

METODE PENELITIAN SOSIAL

METODE PENELITIAN SOSIAL
Pokok Bahasan
Ø Ilmu Pengetahuan dan Penelitian Ilmiah
Ø Prosedur Penelitian Ilmiah
Ø Jenis Jenis Penelitian
Ø Unsur Unsur / Elemen Dasar Penelitian
Ø Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif
Ø Validitas dan Reliabilitas
Ø Sumber Data : Populasi dan Sampel
Ø Teknik Pengumpulan Data
Ø Analisis Data
Ø Penulisan Laporan
Ilmu Pengetahuan & Penelitian Sosial
Pengertian Ilmu Pengetahuan
ILMU adalah pengetahuan yang telah memenuhi syarat-syarat ilmiah.
Pengetahuan adalah informasi tentang suatu obyek yang belum tentu kebenarannya. Sedang informasi adalah segala sesuatu yang mengurangi ketidakpastian.
Syarat-syarat ilmiah terdiri dari :
Empiris ( Bisa di buktikan )
Rasional ( Dapat di cerna dengan Logika )
Sistematis ( Susunan )
Determinisme ( Kausalitas )
Parsimom ( Kesederhanaan )
EMPIRIS
Macam-macam Empiris :
v Empiris Sensasional
Adalah sesuatu yang dapat di tangkap oleh panca indera ( Mata, Hidung, Telinga, Kulit, Mulut ). Hasil kajiannya berupa Ilmu-ilmu alam.
Empiris Etik / Etis
Adalah sesuatu menurut dengannorma-norma sosial yang berlaku di masyarakat. Hasil kajiannya berupa ilmu budaya & sosial.
Empiris Logis
Adalah sesuatu ha yang realitas yang dapat ditangkap oleh akal sehat. ( Deduktif, Induktif, Reflrktif ). Hasil kajiannya berupa ilmo logika / matematika.
v Empiris Transendental
Adalah sesuatu yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera, tidak bisa menggunakan dengan norma-norma sosial namun ada bukti lain yaitu percaya adanya Tuhan. Sesuatu yang di luar akal sehat manusia.
RASIONAL ( Dapat Di Cerna Logika )
· Deduktif
Terdiri dari Premis Mayor (Umum), Premis Minor (Khusus), Conclusion (Kesimpulan).
· Induktif
Terdiri dari Premis Minor (Khusus), Premis Mayor (Umum), Conclusion (Kesimpulan).
· Reflektif
PROSEDUR PENELITIAN
Pengertian Penelitian ( Menurut Hillway )
Penelitian adalah suatu metode studi yang dilakukan seseorang melalui penyelidikan yang hati-hati dan sempurna terhadap suatu masalah sehingga diperoleh pemecahan yang tepat terhadap masalah tersebut.
Penelitian berasal dari kata Research, “ Re “yang artinya Kembali / berulang-ulang dan “Search” yang artinya Mencari tahu.
1. Masalah Penelitian
Latar belakang mengapa perlu dilakukan penelitian (empiris – teoritis)
Logika berpikir deduktif dan induktif
Das sein dan Das sollen
2. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Teoritis (Pengembangan ilmu)
Praktis (Keguaan praktis)
Sosial (Kegunaan sosial)
3. Tinjauan Pustaka
Kerangka Teori
Definisi Konseptual
Definisi Operasional
4. Kerangka Pemikiran
Gambaran Obyek penelitian dan Subyek penelitian
5. Hipotesis
Metodologi Penelitian
Metode
Survei, eksperimen, studi kasus, dll
Disain penelitian
Pretes – postest
Faktorial
Timeseries
Studi kasus Type I, II, III, IV
Bahan Penelitian
Obyek penelitian
Subyek penelitian
Sumber data
Populasi dan Sampel
Key informan dan informan
Teknik Pengumpulan Data
Kesesuaian antara instrumen dengan data yang akan dikumpulkan
Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Validitas (Akurasi instrumen)
Reliabilitas (Konsistensi instrumen)
Pengumpulan Data
Tenaga
Waktu
Pengolahan Data
Kualitatif (kategorial)
Kuantitatif (statistik)
Penulisan Laporan
Publikasi
JENIS-JENIS PENELITIAN
Jenis penelitian adalah dimensi-dimensi yang terdapat pada penelitian ilmiah.
Penggolongan penelitian :
Menurut Tujuan Penelitian
Menurut Kegunaannya
Menurut Waktu yang digunakan
Menurut Data yang dikumpulkan
PENELITIAN MENURUT TUJUANNYA

Ekspolarasi
Yaitu penelitian yang bertujuan untuk menggali pengetahuan awal (to explore) suatu fenomena.
Deskriptif
Yaitu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan (mendeskrisikan) suatu fenomena.
3. Eksplanasi
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan atau menguraikan suatu fenomena. Penelitian ini dirancang atas dasar teori yang sudah ada. Penelitian ini sering menguji teori untuk verifikasi.
PENELITIAN MENURUT PENGGUNANYA
1. Basic Research
Suatu penelitian yang dirancang untuk pengembangan ilmu bukan untuk keperluan praktis. Misalnya ingin mengetahui mengapa sesuatu fenomena, mengapa begitu, dsb. Penelitian ini dapat bertujuan untuk explorasi, deskriptif, eksplanasi. Hasil penelitian ini sering menjadi dasar untuk melakukan penelitian terapan.
1. Applied Research
Penelitian terapan sering dirancang untuk membantu memberi solusi pada problema yang dihadapi. Penelitian ini pada umumnya bertujuan untuk mendeskripsikan suatu fenomena.
Action reseacrh
Impact research
Evaluation research
PENELITIAN MENURUT WAKTU
1. Singkat/Pendek
Crosssectional (pooling)
2. Longitudinal (Panjang Terbatas)
Panel
Timeseries
Cohort
3. Panjang tak terbatas
Case Study
Metodologi penelitian pada hakekatnya merupakan operasionalisasi dari epistemologi kearah pelaksanaan penelitian. Epistemologi memberi pemahaman tentang cara/teori menemukan atau menyusun pengetahuan dari idea, materi atau dari kedua-duanya serta merujuk pada penggunaan rasio, intuisi, fenomena atau dengan metode ilmiah­­ (Rusidi, 2004 :3). Sehingga bagaimana menemukan atau menyusun pengetahuan memerlukan kajian atau pemahaman tentang metode-metode. Dalam pengertian ini perlu dibedakan antara metode dan teknik. Secara keilmuan, metode dapat diartikan sebagai cara berpikir, sedangkan teknik diartikan sebagai cara melaksanakan hasil berpikir. Jadi dengan demikian metodologi penelitian itu diartikan sebagai pemahaman metode-metode penelitian dan pemahaman teknik-teknik penelitian.
Makna penelitian secara sederhana ialah bagaimanakah mengetahui sesuatu yang dilakukan melalui cara tertentu dengan prosedur yang sistematis (Garna, 2000:1). Proses sistematis ini tidak lain adalah langkah-langkah metode ilmiah. Jadi pengertian dari metodologi penelitian itu dapat diartikan sebagai pengkajian atau pemahaman tentang cara berpikir dan cara melaksanakan hasil berpikir menurut langkah-langkah ilmiah.
digli.com/blog_entry.php?user=Riska020886…id=184
Popularity: 15% [?]
SEO Powered by Platinum SEO from Techblissonline Powered b

Sistem Politik Indonesia

Dalam perspektif sistem, sistem politik adalah subsistem dari sistem sosial. Perspektif atau pendekatan sistem melihat keseluruhan interaksi yang ada dalam suatu sistem yakni suatu unit yang relatif terpisah dari lingkungannya dan memiliki hubungan yang relatif tetap diantara elemen-elemen pembentuknya. Kehidupan politik dari perspektif sistem bisa dilihat dari berbagai sudut, misalnya dengan menekankan pada kelembagaan yang ada kita bisa melihat pada struktur hubungan antara berbagai lembaga atau institusi pembentuk sistem politik. Hubungan antara berbagai lembaga negara sebagai pusat kekuatan politik misalnya merupakan satu aspek, sedangkan peranan partai politik dan kelompok-kelompok penekan merupakan bagian lain dari suatu sistem politik. Dengan merubah sudut pandang maka sistem politik bisa dilihat sebagai kebudayaan politik, lembaga-lembaga politik, dan perilaku politik.
Model sistem politik yang paling sederhana akan menguraikan masukan (input) ke dalam sistem politik, yang mengubah melalui proses politik menjadi keluaran (output). Dalam model ini masukan biasanya dikaitkan dengan dukungan maupun tuntutan yang harus diolah oleh sistem politik lewat berbagai keputusan dan pelayanan publik yang diberian oleh pemerintahan untuk bisa menghasilkan kesejahteraan bagi rakyat. Dalam perspektif ini, maka efektifitas sistem politik adalah kemampuannya untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyat.
Namun dengan mengingat Machiavelli maka tidak jarang efektifitas sistem politik diukur dari kemampuannya untuk mempertahankan diri dari tekanan untuk berubah. Pandangan ini tidak membedakan antara sistem politik yang demokratis dan sistem politik yang otoriter.
http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_politik
A. Suprastruktur dan Infrastruktur Politik di Indonesia
1. Pengertian sistem Politik di Indonesia
Sistem politik Indonesia diartikan sebagai kumpulan atau keseluruhan berbagai kegiatan dalam Negara Indonesia yang berkaitan dengan kepentingan umum termasuk proses penentuan tujuan, upaya-upaya mewujudkan tujuan, pengambilan keputusan, seleksi dan penyusunan skala prioritasnya.
politik adalah emua lembaga-lembaga negara yang tersbut di dalam konstitusi negara ( termasuk fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif ). Dalam Penyusunan keputusan-keputusan kebijaksanaan diperlukan adanya kekuatan yang seimbang dan terjalinnya kerjasama yang baik antara suprastruktur dan infrastruktur politik sehingga memudahkan terwujudnya cita-cita dan tujuan-tujuan masyarakat/Negara. Dalam hal ini yang dimaksud suprastruktur politik adalah Lembaga-Lembaga Negara. Lembaga-lembaga tersebut di Indonesia diatur dalam UUD 1945 yakni MPR, DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial. Lembaga-lembaga ini yang akan membuat keputusan-keputusan yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Badan yang ada di masyarakat seperti Parpol, Ormas, media massa, Kelompok kepentingan (Interest Group), Kelompok Penekan (Presure Group), Alat/Media Komunikasi Politik, Tokoh Politik (Political Figure), dan pranata politik lainnya adalah merupakan infrastruktur politik, melalui badan-badan inilah masyarakat dapat menyalurkan aspirasinya. Tuntutan dan dukungan sebagai input dalam proses pembuatan keputusan. Dengan adanya partisipasi masyarakt diharapkan keputusan yang dibuat pemerintah sesuai dengan aspirasi dan kehendak rakyat.
B. Perbedaan sistem politik di berbagai Negara
1. Pengertian sistem politik
a. Pengertian Sistem
Sistem adalah suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks dan terorganisasi.
b. Pengertian Politik
Politik berasal dari bahasa yunani yaitu “polis” yang artinya Negara kota. Pada awalnya politik berhubungan dengan berbagai macam kegiatan dalam Negara/kehidupan Negara.
Istilah politik dalam ketatanegaraan berkaitan dengan tata cara pemerintahan, dasar dasar pemerintahan, ataupun dalam hal kekuasaan Negara. Politik pada dasarnya menyangkut tujuan-tujuan masyarakat, bukan tujuan pribadi. Politik biasanya menyangkut kegiatan partai politik, tentara dan organisasi kemasyarakatan.
Dapat disimpulkan bahwa politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan kebijakan dan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu.
c. Pengertian Sistem Politik
Menurut Drs. Sukarno, sistem politik adalah sekumpulan pendapat, prinsip, yang membentuk satu kesatuan yang berhubungan satu sama lain untuk mengatur pemerintahan serta melaksanakan dan mempertahankan kekuasaan dengan cara mengatur individu atau kelompok individu satu sama lain atau dengan Negara dan hubungan Negara dengan Negara.
SISTEM POLITIK menurut Rusadi Kartaprawira adalah Mekanisme atau cara kerja seperangkat fungsi atau peranan dalam struktur politik yang berhubungan satu sama lain dan menunjukkan suatu proses yang langggeng
2. Macam-macam Sistem Politik
3. Sistem Politik Di Berbagai Negara
a. Sistem Politik Di Negara Komunis :
Bercirikan pemerintahan yang sentralistik, peniadaan hak milk pribadi, peniadaan hak-haak sipil dan politik, tidak adanya mekanisme pemilu yang terbuka, tidak adanya oposisi, serta terdapat pembatasan terhadap arus informasi dan kebebasan berpendapat
b. Sistem Politik Di Negara Liberal :
Bercirikan adanya kebebasan berpikir bagi tiap individu atau kelompok; pembatasan kekuasaan; khususnya dari pemerintah dan agama; penegakan hukum; pertukaran gagasan yang bebas; sistem pemerintahan yang transparan yang didalamnya terdapat jaminan hak-hak kaum minoritas
c. Sistem Politik Demokrasi Di Indonesia :
Sistem politik yang didasarkan pada nilai, prinsip, prosedur, dan kelembagaan yang demokratis. Adapun sendi-sendi pokok dari sistem politik demokrasi di Indonesia adalah :
1. Ide kedaulatan rakyat
2. Negara berdasarkan atas hukum
3. Bentuk Republik
4. Pemerintahan berdasarkan konstitusi
5. Pemerintahan yang bertanggung jawab
6. Sistem Perwakilan
7. Sistem peemrintahan presidensiil
  1. 4. Peran serta masyarakat dalam politik adalah terciptanya masyarakat politik yang “Kritis Partisipatif” dengan ciri-ciri
a. Meningkatnya respon masyarakat terhadapkebijakan pemerintah
b. Adanya partisipasi rakyat dalam mendukung atau menolak suatu kebijakan politik
c. Meningkatnya partisipasi rakyat dalam berbagai kehiatan organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, dan kelompok-kelompok penekan

Dasar-dasar Logika

Logika
Pikiran manusia pada hakikatnya selalu mencari dan berusaha untuk memperoleh kebenaran. Karena itu pikiran merupakan suatu proses. Dalam proses tersebut haruslah diperhatikan kebenaran bentuk dapat berpikir logis. Kebenaran ini hanya menyatakan serta mengandaikan adanya jalan, cara, teknik, serta hukum-hukum yang perlu diikuti. Semua hal ini diselidiki serta dirumuskan dalam logika.
Secara singkat logika dapat dikataka sebagai ilmu pengetahuan dan kemampuian untuk berpikir lurus. Ilmu pengetahuan sendiri adalah kumpulan pengetahuan tentang pokok tertentu. Kumpulan ini merupakan suatu kesatuan yang sistematis serta memberikan penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Penjelasan ini terjadi dengan menunjukkan sebab musababnya.
Logika juga termasuk dalam ilmu pengetahuan yang dijelaskan diatas. Kajian ilmu logika adalah azas-azas yang menentukan pemikiran yang lurus, tepat, dan sehat. Agar dapat berpikir seperti itu, logika menyelidiki, merumuskan, serta menerapkan hukum-hukum yang harus ditepati. Hal ini menunjukkan bahwa logika bukanlah sebatas teori, tapi juga merupakan suatu keterampilan untuk menerapkan hukum-hukum pemikiran dalam praktek. Ini sebabnya logika disebut filsafat yang praktis.
Objek material logika adalah berfikir. Yang dimaksud berfikir disini adalah kegiatan pikiran, akal budi manusia. Dengan berfkir, manusia mengolah dan mengerjakan pengetahuan yang telah diperolehnya. Dengan mengolah dan mengerjakannya ia dapat memperoleh kebenaran. Pengolahan dan pegearjaan ini terjadi dengan mempertimbangkan, menguraikan, membandingkan, serta menghubungkan pengertian satu dengan pengertian lainnya.
Tetapi bukan sembarangan berfikir yang diselidiki dalam logika. Dalam logika berfikir dipandang dari sudut kelurusan dan ketepatannya. Karena berfikir lurus dan tepat merupakan objek formal logika. Suatu pemikiran disebut lurus dan tepat, apabila pemikirn itu sesuai dengan hukum-hukum serta aturan-aturan yang sudah ditetapkan dalam logika.
Dengan demikian kebenaran juga dapat diperoleh dengan lebih mudah dan aman. Semua ini menunjukkan bahwa logika merupakan suatu pegangan atau pedoman untuk pemikiran.
Macam-macam logika
Logika dapat dibedakan atas dua macam, namun keduanya tidak dapat dipisahkan.
a. Logika Kodratiah
Akal budi (pikiran) bekerja menurut hukum-hukum logika dengan cara spontan. Tetapi dalam hal-hal tertentu (biasanya dalam masalah yang sulit), akal budi manusia maupun seluruh diri manusia bisa dipengaruhi oleh keinginan-keinginan dan kecenderungan-kecenderungan yang subjektif. selain itu, perkembangan pengetahuan manusia sendiri sangat terbatas.
Hal-hal ini menyebabkan kesesatan tidak terhindarkan. Walaupun sebenarnya dalam diri manusia sendiri juga ada kebutuhan untuk menghindari kesesatan tersebut. Untuk menghindari kesesatan itulah, dibutuhkan ilmu khusus yang merumuskan azaz-azaz yang harus ditepati dalam setiap pemikiran, yaitu logika ilmiah.
b. Logika Ilmiah
Logika ini membantu logika kodratiah. Logika ilmiah memperhalus dan mempertajam akal budi, juga menolong agar akal budi bekerja lebih tepat, lebih teliti, lebih mudah, dan lebih aman. Dengan demikian kesesatan dapat dihindarkan, atau minimal bisa dikurangi dengan kadar tertentu. Logika inilah, yang dimaksud mempunyai hukum-hukum atau azaz-azaz yang harus ditepati.
Dalam penyelidikan hukum-hukum logika, dapat diuraikan bahwa pemikiran manusia terjadi tiga unsur. Yaitu pengertian-pengertian atau kata, kemudian kata atau pengetian itu disusun itu sedemikian tupa sehingga menjadi keputusan-keputusan. Akhirnya keputusan-keputusan itu disusun menjadi penyimpulan-penyimpulan.
Sumber : http://best1alone.blogspot.com
Popularity: 63% [?]

Sistem Sosial Budaya Indonesia

ssbi Sistem Sosial Budaya Indonesia
Memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang konsep-konsep yang berkaitan dengan sistem budaya. Pembahasan kuliah meliputi latar belakang terwujudnya sistem budaya di Indonesia, menganalisa apa dan bagaimana sistem budaya menjadi acuan tingkah laku masyarakat Indonesia, dan menanggapi gejala-gejala budaya tertentu yang muncul dalam masyarakat.
PENGERTIAN SOSIAL BUDAYA
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia.
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut Edward B. Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Perubahan sosial budaya dapat terjadi bila sebuah kebudayaan melakukan kontak dengan kebudayaan asing. Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat.
osted January 14th, 2009 by kamang
BAB I
P E N D A H U L U A N
Kerusuhan yang terjadi di Kota Ambon dan kemudian meluas ke berbagai tempat di Maluku, telah menelan ratusan (bahkan mungkin ribuan) korban jiwa manusia tak berdosa, ribuan rumah penduduk, puluhan tempat ibadah, serta ratusan sarana perekonomian. Kerusuhan dimaksud ternyata telah membawa dampak negatif, sehingga sangat mempengaruhi terganggunya sistem pendidikan dan aktivitas ekonomi masyarakat; belum terhitung rusaknya hubungan-hubungan sosial, kekerabatan dan kemanusiaan yang selama ini menjadi referensi bersama dalam tatanan kehidupan bermasyarakat di Maluku, khususnya di Kota Ambon. Kerusuhan yang berlarut-larut hingga lebih dari satu bulan tersebut, secara eksplisit memberi indikasi bahwa potensi konflik internal yang ada dalam kehidupan sosial kemasyarakatan di Maluku (terutama di Maluku Tengah) dan intervensi “budaya impor”, telah melemahkan kearifan budaya lokal. Kondisi yang rentan sedemikian, kemudian dieksploitasi dan dimanfaatkan secara sistematis oleh aktor intelektual yang hampir dapat dipastikan sulit dijamah hukum. Karena itu, pemecahan masalah Kerusuhan Ambon dengan berbagai implikasi yang timbul, seyogianya tidak disederhanakan, sebab jika demikian, pemecahan masalahnya tidak akan tuntas, bahkan hanya mengalihkan konflik massa ke waktu berikutnya.
BAB II
ISI
2.1. Pola Hubungan Sosial Masyarakat Di Maluku Tengah.
Dalam kerangka pemecahan Kerusuhan Ambon secara mendasar, diperlukan kajian yang komprehensif dan integratif agar dapat meminimalkan kecenderungan berpikir simplisistik, terutama untuk mengungkapkan sumber-sumber masalah yang secara akumulatif membentuk titik-titik kritis (critical points) pada jaringan interaksi antar elemen di dalam masyarakat. Titik tolak ini penting, sebab eksploitasi suatu kerusuhan sosial yang bersifat luar biasa (massive) seperti di Ambon ini, tentu tidak terjadi secara spontan dan seketika, tetapi lazim didahului oleh pematangan kondisi sosio-psikologis massa, baik secara sengaja maupun tanpa disadari. Ini berarti, variabel waktu, pola hubungan sosial masyarakat di desa maupun kota, berbagai kebijakan publik, dan pendekatan pembangunan secara nasional, ikut menentukan pra-kondisi kerusuhan, termasuk yang terjadi di Ambon.
Oleh sebab itu, prinsip yang seharusnya dipedomani dalam upaya mencari solusi untuk membangun kembali keharmonisan struktur sosial bagi kebutuhan jangka panjang atau melakukan suatu rekayasa tatanan sosial masyarakat baru di Maluku, khususnya Maluku Tengah, dan Indonesia Baru pada umumnya, haruslah didasarkan pada itikad mengedepankan semua fakta empirik sesuai realitas obyektif yang jujur; dan yang terpenting ialah tanpa pretensi dan kepentingan politik sempit. Dalam konteks demikian, maka pokok-pokok pikiran yang disampaikan ini, pertama-tama didasarkan pada suatu gambaran tentang pola hubungan sosial dalam masyarakat di daerah pedesaan dan perkotaan di Maluku Tengah, proses pelemahan pranata sosial-budaya yang hidup dalam masyarakat baik yang dipengaruhi oleh berbagai kebijakan pembangunan nasional yang memarjinalkan kearifan budaya lokal sebagai katup pengaman potensi konflik sosial, maupun intervensi “budaya impor”, serta identifikasi pola Kerusuhan Ambon. Akhirnya akan dikemukakan pula beberapa solusi pemecahan masalah Kerusuhan Ambon dalam rangka mengembangkan sebuah platform baru kehidupan berbangsa berdasarkan cita-cita para pendiri republik ini.
Secara antropologis, masyarakat asli Maluku Tengah berasal dari dua pulau besar, yaitu Pulau Seram dan Pulau Buru, kemudian bermigrasi ke pulau-pulau kecil di sekitarnya. Para migran dari Pulau Seram menyebar ke Kepulauan Lease (Pulau Haruku, Pulau Saparua, dan Pulau Nusalaut) dan Pulau Ambon. Migrasi ini, memberi dampak terhadap peran Kepulauan Lease sebagai pusat kebudayaan baru yang diintrodusir oleh Pemerintah Kolonial Belanda, sehingga terjadi asimilasi antara kebudayaan baru dimaksud dengan Kebudayaan Seram yang mendapat pengaruh dari kebudayaan sekitarnya, yaitu pengaruh kebudayaan Melanesia (tradisi Kakean) dan Melayu, serta kekuasaan Ternate dan Tidore.
Dalam rangka pengawasan terhadap penduduk, Pemerintah Kolonial Belanda menurunkan penduduk dari pegunungan ke pesisir pantai, sehingga komunitas-komunitas dengan teritori yang disebut Hena atau Aman, berganti nama dengan Negeri, yang diciptakan oleh pemerintah kolonial. Dalam proses sosio-historis, negeri-negeri ini mengelompok dalam komunitas agama tertentu, sehingga timbul dua kelompok masyarakat yang berbasis agama, yang kemudian dikenal dengan sebutan Ambon Sarani dan Ambon Salam. Pembentukan negeri seperti ini, memperlihatkan adanya suatu totalitas kosmos yang mengentalkan solidaritas kelompok, namun pada dasarnya rentan terhadap kemungkinan konflik. Oleh sebab itu, dikembangkanlah suatu pola manajemen konflik tradisional sebagai pencerminan kearifan pengetahuan lokal guna mengatasi kerentanan konflik dimaksud seperti Pela, Gandong dan hubungan kekerabatan lainnya.
Teritori-teritori baru ini (negeri) diatur struktur pemerintahannya yang mirip dengan struktur pemerintahan di Negeri Belanda. Dengan struktur pemerintahan demikian, maka negeri-negeri menjadi “negara-negara kecil” dengan pemerintah, rakyat dan teritori tertentu, dipimpin oleh Raja yang diangkat dari klen-klen tertentu yang memerintah secara turun-temurun, dan kekuasaan di dalam negeri, dibagi-bagi untuk seluruh klen dalam komunitas negeri. Dalam proses penataan struktur pemerintahan negeri, terjadi perubahan institusi sosial, seperti Saniri Negeri yang sebelumnya merupakan lembaga peradilan, berubah fungsi menjadi semacam badan perwakilan rakyat.
Dalam perkembangan sosio-historis selanjutnya, terjadi kontak-kontak sosial baik antar masyarakat asli Maluku Tengah maupun antara masyarakat asli dengan pendatang. Dengan demikian, maka di dalam masyarakat Maluku Tengah ini dikenal 2 (dua) kelompok atau kategori sosial, yaitu Anak Negeri dan Orang Dagang. Yang disebut Anak Negeri ialah penduduk asli Maluku Tengah dalam sebuah negeri (Desa Adat). Anak Negeri ini, terdiri atas 2 kelompok pemeluk agama, yaitu Anak Negeri Sarani, untuk yang beragama Kristen, yang mendiami Negeri (Desa Adat) Sarani, dan Anak Negeri Salam, untuk yang beragama Islam, yang mendiami Negeri (Desa Adat) Salam. Kedua kelompok masyarakat ini umumnya hidup dalam komunal-komunal (Negeri) yang terpisah, kecuali di beberapa desa seperti Hila, Larike, dan Tial.
Yang disebut Orang Dagang, ialah para pendatang dari luar Negeri, baik karena ikatan perkawinan dengan Anak Negeri, maupun karena tugas-tugas pelayanan masyarakat (guru, mantri kesehatan, mantri pertanian, dan lain-lain), atau karena aktivitas ekonomi (penggarap tanah atau pemungut hasil hutan, atau pedagang). Jadi, Orang Dagang di sebuah Negeri, dapat berasal dari Orang Maluku Asli yang berasal dari Negeri lain, ataupun pendatang dari luar Maluku, yaitu yang berasal dari Buton, dan suku bangsa Cina serta Arab. Khusus pendatang dari luar Maluku, etnis yang dominan dari segi kuantitas ialah enis Buton. Orang Dagang dari luar Maluku ini datang dan menetap dalam Negeri, baik secara berbaur dengan Anak Negeri maupun membentuk suatu komunal lain dalam Petuanan Negeri, lebih didominasi oleh kepentingan ekonomi.
Orang Dagang yang berasal dari etnik Buton yang berdiam di sebuah Negeri, biasanya dalam jumlah puluhan kepala keluarga, dan hampir seluruhnya datang dan menetap dalam Negeri Kristen. Mereka ini, sudah ratusan tahun mendiami Negeri-Negeri Kristen, dan kehadirannya sebagai petani penggarap lahan, baik Tanah Dati maupun Tanah Negeri. Sejak kedatangan etnis ini hingga tahun 1970an, mereka ini membentuk komunal yang terpisah dengan Anak Negeri, dan hidup dengan tradisi maupun agama yang dianutnya, secara bebas.
Orang Dagang yang berasal dari keturunan Arab atau Cina, datang dan mendiami sebuah Negeri dalam jumlah yang sangat kecil, yaitu hanya satu atau beberapa kepala keluarga. Mereka ini, hadir sebagai pedagang yang tidak membentuk komunal yang terpisah dari Anak Negeri, tetapi berbaur dalam komunitas Anak Negeri. Walaupun mereka berbaur dengan Anak Negeri, pada umumnya, tradisi nenek moyangnya tetap dipertahankan, terutama yang berasal dari keturunan Cina. Demikian juga agama yang dianutnya, terutama keturunan Arab, pada umumnya tetap dipertahankan, sekalipun mereka mendiami sebuah Negeri yang pemeluk agama Anak Negerinya berbeda. Saat akan melaksanakan ibadah berjamaah misalnya, umumnya mereka melakukan ibadah di Negeri yang sama agamanya, atau ke kota terdekat.
Kontak sosial antar Anak Negeri dari dua atau lebih Negeri, terjadi karena hubungan kekerabatan, yang terakomodasi dalam berbagai wujud termasuk PELA dan GANDONG, atau karena hubungan ekonomi maupun sosial lain, seperti pendidikan anak, atau acara-acara keagamaan maupun hari-hari besar kenegaraan. Sebaliknya, kontak sosial antara Anak Negeri dengan Orang Dagang, terutama yang berasal dari luar Maluku, terjadi karena kegiatan ekonomi, sehingga pola hubungan kedua kelompok masyarakat ini, lebih dimotivasi oleh kepentingan ekonomi semata.
Berdasarkan gambaran antropologis dan sosiologis di atas, maka sesungguhnya dalam kehidupan sosial, terutama pada daerah pedesaan di Maluku Tengah, terdapat tiga pengelompokan masyarakat, yaitu Anak Negeri Serani, Anak Negeri Salam, dan Orang Dagang. Perekat sosial antar satu kelompok dengan kelompok lainnya, berbeda-beda. Perekat sosial yang mengikat hubungan sosial Anak Negeri Serani dan Anak Negeri Salam, antara lain yang menonjol ialah nilai-nilai budaya PELA atau GANDONG yang diyakini mempunyai kekuatan supranatural yang sangat mempengaruhi perilaku sosial kedua kelompok masyarakat ini. Wujud keterikatan budaya ini secara praktis terlihat dari sifat kegotong-royongan antar kedua Negeri yang yang mempunyai hubungan pela atau gandong. Sifat kegotong-royongan ini, dalam realitasnya memasuki area identitas kelompok yang sensitif, yaitu dalam hal pembangunan rumah ibadah, dimana Negeri Serani merasa berkewajiban untuk menyiapkan bahan bangunan (biasanya kayu) dan bersama-sama membangun mesjid. Demikian sebaliknya, Negeri Salam merasa berkewajiban untuk menyiapkan bahan bangunan dan bersama-sama membangun gereja. Kewajiban ini didasari atas rasa kewajiban sosial, moral, dan ritual, dan sama sekali tidak ada nuansa ekonomi didalamnya. Kewajiban yang bernuansa sosial, moral dan ritual ini, tidak mengurangi atau-pun mengganggu kepatuhan terhadap ajaran agama yang dianut oleh Anak Negeri tiap Negeri yang berbeda agama ini, bahkan mempertebal rasa saling menghargai perbedaan agama antar kedua Negeri tersebut.
Pola hubungan Anak Negeri dengan Orang Dagang, dipererat oleh kepentingan ekono-mi, dari masing-masing kelompok. Sehingga yang menjadi perekat hubungan sosial antar kedua kelompok masyarakat ini, bukan agama, tetapi transaksi ekonomi. Hal ini terjadi, karena pada umumnya Orang Dagang yang terbanyak berasal dari Buton, mendiami dan menggarap lahan milik petuanan Negeri Serani. Sedangkan Orang Dagang dagang asal Negeri lain, pada umum-nya pola hubungan sosial dengan Anak Negeri direkat oleh kekerabatan karena perkawinan atau pekerjaan sosial lain. Sebab itu, pandangan Anak Negeri terhadap Orang Dagang yang berasal dari Negeri lain, berbeda dengan yang berasal dari luar Maluku Tengah. Orang Dagang dari Negeri lain, masih dilihat sebagai suatu kesatuan budaya, sedangkan terhadap Orang Dagang dari luar Maluku Tengah, dilihat sebagai pendatang dan orang diluar kesatuan budaya. Karena itu, ada perlakuan yang berbeda dari Anak Negeri terhadap Orang Dagang yang berasal dari Negeri lain dengan yang berasal dari luar Maluku Tengah. Namun ada perlakuan yang sama kepada kedua sub kelompok Orang Dagang ini, ialah kedua-duanya tidak diberikan hak dalam penguasaan Tanah Dati atau Tanah Negeri.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, secara sosiologis dan antropologis, pola hubungan sosial dalam kehidupan masyarakat pedesaan di Maluku Tengah, sudah mengandung potensial konflik, karena adanya sentimen kelompok, baik dalam konteks Salam-Serani, Anak Negeri-Orang Dagang, maupun secara kesatuan budaya. Namun demikian, sentimen kelompok ini, tereliminasi dengan kearifan budaya lokal, maupun kepentingan ekonomi yang substitusional dalam batasan kewajaran, sehingga konflik sosial tidak termanifest. Dengan kata lain, potensi tersebut dapat diredam dan mengendap pada bagian terdalam struktur kepribadian masyarakat, karena institusi sosial budaya lokal masih berfungsi dengan baik sebagai katup pengaman yang mampu meminimalkan eksplosi sosial yang bernuansa primordial.
2.2. Pola Hubungan Sosial Masyarakat Di Kota Ambon.
Kota-kota di Maluku Tengah, sama seperti kota lainnya dimanapun, terbentuk karena adanya pusat pemerintahan dan kegiatan politik, pusat kegiatan ekonomi, maupun pusat kegiatan pendidikan. Karena itu, kota lazim menjadi pusat konsentrasi manusia dari berbagai latar belakang etnik, budaya, maupun agama dengan berbagai kepentingan yang berbeda-beda.
Kota Ambon sebagai sentral seluruh kegiatan pemerintahan dan politik, ekonomi maupun pendidikan, di Maluku, mempunyai daya tarik bagi masyarakat dari berbagai penjuru desa yang ada di Maluku maupun luar Maluku. Karena itu, proses migrasi secara spontan terjadi ke Kota Ambon sekitar permulaan abad 19, dimana para migran Anak Negeri Serani dari daerah pedesaan datang ke Kota Ambon umumnya untuk kepentingan pendidikan, sedangkan Anak Negeri Salam datang lebih untuk kepentingan ekonomi, yakni sebagai pedagang dan sedikit sekali yang datang untuk kepentingan pendidikan, dan Orang Dagang dari luar bermigrasi ke Kota Ambon untuk kepentingan ekonomi semata. Para Migran dari daerah pedesaan ke Kota Ambon, mem-bentuk komunal-komunal yang segregatif berdasarkan latar belakang agama sesuai dengan segregasi teritori di pedesaan, walaupun dalam sebuah komunal tidak lagi homogen seperti Kon-sep Anak Negeri – Orang Dagang. Sebaliknya, para pendatang dari wilayah-wilayah lain dari Sulawesi Selatan dan Pulau Jawa, membentuk komunal-komunal yang segregatif berdasarkan latar belakang etnik. Pola pemukiman yang segregatif di Kota Ambon dengan masyarakat yang semakin heterogen ini, membentuk sentimen kelompok dalam berbagai latar belakang, yaitu sentimen kelompok agama, ikatan negeri, maupun etnik yang rawan konflik.
Seiring dengan perkembangan kepemerintahan dan politik, pendidikan, dan ekonomi, Kota Ambon sebagai sentral seluruh kegiatan tersebut, semakin dipadatkan dengan para migran yang tidak hanya berasal dari daerah pedesaan, tetapi juga dari daerah-daerah lain disekitarnya, terutama Daerah Sulawesi Selatan. Dengan perkembangan Kota Ambon yang semakin pesat ini, maka Kota Ambon menjadi tumpuan untuk mencari lapangan kerja baru. Orang Ambon Serani, dengan bekal tingkat pendidikan yang relatif lebih tinggi, mempunyai orientasi kerja pada biro-krasi, sebaliknya Orang Ambon Salam sebagian besar mempunyai orientasi kerja pada sektor ekonomi berskala kecil. Pendatang suku bangsa Cina dan Arab, yang pada dasarnya menda-tangi Maluku karena kepentingan ekonomi, berorientasi kerja pada sektor ekonomi berskala me-nengah dan besar, sedangkan para pendatang dari Sulawesi Selatan dan Tenggara, mempunyai orientasi kerja pada sektor ekonomi berskala kecil.
Sejalan dengan perkembangan Kota Ambon yang demikian pesat, dan proses migrasi masuk yang tidak diimbangi dengan kebijakan kependudukan yang berbasis pada daya dukung pulau, mengakibatkan semakin tingginya tingkat kepadatan penduduk. Dengan tingginya ke-padatan penduduk ini, maka ruang kerak penduduk semakin sempit, sehingga persaingan se-cara ekonomis, baik terhadap ruang (tanah) maupun lapangan kerja, mengakibatkan semakin tingginya potensi konflik antar kelompok masyarakat.
Sehubungan dengan perkembangan ekonomi, terutama terpuruknya harga cengkeh, akibat kebijakan Tata Niaga Cengkeh yang monopolistik, maka kehidupan ekonomi para petani cengkeh di Maluku semakin sulit dari waktu ke waktu. Anak Negeri Kristen yang selama ini tidak berbakat di sektor swasta, sebab selama ini orientasi kerja hanya pada birokrasi, mencoba mengalihkan aktivitas ekonomi keluarga pada sektor ekonomi. Saat akan memasuki dunia karier yang baru, yakni sebagai wirausahawan, sudah ada “barier” , yaitu kelompok masyarakat lain, yakni Anak Negeri Islam dan Orang Dagang, baik dari etnis Buton, Bugis/Makassar, Arab, maupun Cina, yang lebih mapan dalam berbagai aspek manajerial usaha. Selain itu, pola rekruitmen pegawai birokrasi yang cenderung berpendekatan koneksitas (KKN), menimbulkan ketersinggungan sosial ekonomi dikalangan para pencari kerja yang sangat minim koneksinya pada instansi birokrasi.
Beragamnya motivasi kelompok-kelompok dalam masyarakat di Kota Ambon ini, dan terjadinya berbagai ketimpangan sosial, mengakibatkan terjadi perubahan pola hubungan sosial, terutama pada kelompok masyarakat asal Negeri-Negeri, dari pola hubungan yang berbasis pada budaya tolong menolong dan saling menghormati, berdasarkan kewajiban sosial, moral, dan ritual, menjadi orientasi kepentingan yang bersifat ekonomis. Perubahan hubungan sosial ini, mengakibatkan semakin bertambah mengentalnya solidaritas kelompok yang berbasis pada agama, sehingga potensi konflik di Kota Ambon semakin tajam.
2.3. Proses Melemahnya Hubungan Sosial Dalam Masyarakat Maluku Tengah.
Menyimak pola hubungan sosial masyarakat di Maluku Tengah yang dikemukakan di atas, pada dasarnya kehidupan masyarakat menyimpan potensi konflik. Negeri-negeri terpola pada perbedaan-perbedaan kelompok, baik terkait dengan teritori maupun agama, yaitu Negeri Salam dan Negeri Serani. Pembagian kelompok negeri ini menimbulkan solidaritas primordial yang kuat di kalangan anggota kelompok. Disatu pihak terdapat solidaritas kelompok yang berbasis pada negeri, dilain pihak terdapat juga solidaritas kelompok yang berbasis pada agama.
Dalam realitas kehidupan sosial, perbedaan kelompok ini direkat oleh kebudayaan lokal, yaitu adat, karena adanya kesatuan budaya yang dianut oleh masyarakat di Maluku Tengah. Konsep Salam-Serani sebenarnya merupakan sebuah totalitas Orang Ambon dalam konteks budaya. Hubungan-hubungan pela dan gandong merupakan jaringan kesatuan yang luas, dan menjadi perekat antar kelompok masyarakat yang berbeda, sebagai sebuah totalitas dan kesatuan budaya.
Dalam perkembangan kemasyarakatan dan kebangsaan, potensi konflik antar kelompok masyarakat, baik di Maluku Tengah maupun Indonesia pada umumnya, tidak dikelola melalui tahapan pluralisme yang disertai dengan pemberdayaan katup-katup pengamannya (safety valve). Akibatnya, masyarakat tidak mengetahui bagaimana seharusnya menghargai realitas obyektif, yaitu kebhinnekaan yang ada, sehingga sikap politik masyarakat tidak pernah menca-pai tingkat kedewasaan yang memadai untuk berdemokrasi. Perjalanan berbangsa dan berne-gara selama 32 tahun belakangan ini menunjukan bahwa manajemen pembangunan Pemerin-tahan Orde Baru sudah mengalami kegagalan dalam memfasilitasi perkembangan pluralisme dari tahap awal, yakni Pluralisme Primordial menuju Pluralisme Liberal, untuk selanjutnya mencapai tahap Pluralisme Konsosiasional. Hal ini disebabkan oleh pendekatan stabilitas yang melahirkan struktur masyarakat yang didominasi oleh ideologi seragam dan keseragaman, yang sengaja menihilkan kebhinnekaan, sehingga tertib sosial yang berhasil dicapai ternyata hanya mencerminkan integrasi sosial politik yang semu, karena nilai-nilai apresiatif terhadap realitas kemajemukan tidak melembaga dalam perilaku berbagai kelompok, baik komunitas etnis, agama, maupun antar golongan.
Dalam perjalanan kenegaraan dan kebangsaan, sejak awal tahun 1970-an, dalam kerangka terciptanya stabilitas, maka mulai terintrodusir Paradigma Mayoritas-Minoritas dalam manajemen pembangunan. Paradigma ini terwujud dalam berbagai produk undang-undang maupun praktek kenegaraan. Praktek bernegara dan bermasyarakat yang sangat kental dengan paradigma ini ialah Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 dan budaya mohon petunjuk. Kedua bentuk paradigma ini merupakan apresiasi dari nilai-nilai budaya Jawa yang dipaksakan pemberlakuannya diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Implikasinya, rasa mayoritas (sense of majority) cenderung mengekspresikan diri secara terbuka melalui tuntutan-tuntutan dominatif, yang tanpa disadari kemudian menstimulasi munculnya rasa minoritas (sense of minority), sebagai upaya resistensi dalam berbagai bentuk.Konsekuensi logis dari sense of majority versus sense of minority pada lapisan masyarakat bawah (grassroot level), ialah berkembangnya polarisasi yang cukup kuat. Hal ini terjadi karena berbagai saluran ekspresi diri yang idealnya berlangsung secara kompetitif dan prestatif tersumbat oleh kepentingan prestise pribadi dan kelompok, yang dipraktekan nyaris tanpa moral.
Awal tahun 1990an pendekatan berparadigma mayoritas-minoritas mulai berubah basis-nya dari dominasi Budaya Jawa, menjadi dominasi keagamaan. Implikasi terhadap berubahnya basis paradigma mayoritas-minoritas ini, ialah politisasi agama yang semakin mempertajam konflik sosial dalam kehidupan masyarakat Maluku, terutama Maluku Tengah, yang memang secara sosiologis telah hidup dalam Konsep Salam-Serani. Konsep Salam-Serani yang bernuansa kultural berubah esensinya menjadi Konsep Islam-Kristen yang bernuansa universal. Akibatnya, terjadi perubahan perilaku sesama Anak Negeri, yang semula saling mengunjungi ataupun menghadiri acara ritual adat sekaligus dengan ritual agama, mulai memilah-milah untuk hanya mengunjungi atau menghadiri acara ritual adat saja.
Pendekatan mayoritas-minoritas berdasarkan nuansa keagamaan, merupakan embrio hancurnya nilai-nilai kemanusiaan, apalagi jika ditunjang dengan politisasi agama. Sebab agama mempunyai karateristik yang khas yaitu “nilai ekslusifistik dan ekspansif”, sehingga politisasi agama akan mendorong berkembangnya kehidupan berbangsa dan bernegara dalam nuansa-nuansa eksklusifisme agama. Padahal, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang dicita-citakan oleh para founding fathers republik ini, bukan didasarkan pada pendekatan paradigma mayoritas-minoritas dalam bentuk apapun, tetapi didasarkan pada tatanan budaya bangsa yang ber BHINNEKA dan mampu mempersatukan Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Dalam berbagai dimensi pembangunan selama ini, baik kepemerintahan, ekonomi, dan sosial, pendekatan kuantitatif selalu dikedepankan yang diterjemahkan sebagai demokrasi. Padahal esensi demokrasi bukan terletak pada angka-angka statistik, tetapi pada kualitasnya, yaitu bagaimana mendorong seluruh rakyat untuk berpartisipasi dalam seluruh proses pem-bangunan bangsa, berdasarkan nilai-nilai kultural yang hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai kultural yang hidup dalam masyarakat di Maluku ialah per-saudaraan dan saling menghargai yang menembusi sekat-sekat agama. Nilai-nilai ini selama berabad-abad telah terbukti men-ciptakan hubungan persaudaraan dan saling menghargai, sehingga interaksi sosial yang dinamis antara seluruh lapisan dan golongan masyarakat di Maluku, dapat berlangsung dalam nuansa rasa persaudaraan yang tinggi dan saling tolong-menolong, sebagai wujud sebuah kewajiban sosial, moral, dan ritual.
Nilai-nilai kultural ini, mulai mengalami degradasi, seiring dengan politik pembangunan yang mengedepankan pendekatan-pendekatan kuantitatif dengan paradigma mayoritas-minoritas berdasarkan keagamaan. Akibatnya, masyarakat di Maluku, terutama di Kota Ambon, terkotak-kotak dalam sekat-sekat agama, sehingga nuansa kebangsaan yang berBHINNEKA mulai surut, diganti dengan nuansa mayoritas-minoritas yang berbasis agama. Dampak langsung ialah, hancurnya nilai dan pranata kultural yang selama ini menjadi perekat dalam kehidupan masyarakat di Maluku, bahkan kemungkinan besar di daerah-daerah lain di Indonesia juga. Hancurnya nilai dan pranata kultural mengakibatkan masyarakat terkotak-kotak, sehingga timbul rasa superioritas mayoritas terhadap golongan minoritas berdasarkan agama. Sebaliknya, golongan minoritas merasa eksistensinya terancam dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didasarkan pada hakekat BHINNEKA TUNGGAL IKA yang berbasis pada tatanan budaya. Rasa superioritas mayoritas di satu sisi berhadapan dengan rasa terancamnya eksistensi go-longan minoritas di lain sisi, karena paradigma mayoritas-minoritas berbasis agama, menjadi ancaman terhadap integrasi dan keutuhan bangsa.
Ketika gong reformasi memberi ruang yang besar bagi terbukanya saluran aspirasi, timbul dorongan bereksperimen politik dengan resiko tinggi, yang semula dianggap sebagai perilaku demokratis, ternyata kemudian membuka jalan bagi luapan ekspresif yang cenderung anarkhis dari sense of majority, yang merangsang energi sosial massa pada lapisan bawah, muncul kepermukaan sebagai kekuatan destruktif yang semakin mempertajam polarisasi dan jurang antar etnis, agama, dan golongan. Dalam konteks ini, isyu agama sebagai salah satu sarana pembinaan solidaritas dan sentimen kelompok, menjadi pilihan strategis untuk menggalang kekuatan massa, sehingga agama menjadi kendaraan politik. Kondisi seperti ini, terjadi di Indonesia, sehingga budaya lokal di Maluku Tengah, terutama di Kota Ambon, terpengaruh dan ikut menjadi lebih lemah lagi, sehingga hampir tidak ada lagi katup pengaman untuk menentralisasi konflik sosial yang memang sudah potensial.
2.4. Kerusuhan Ambon Sebagai Implikasi Melemahnya Budaya Lokal.
Kerusuhan Ambon yang berlarut-larut selama dua bulan, telah mengakibatkan kerugian yang tak ternilai. Jika dibandingkan dengan kerusuhan di tempat-tempat lain, Kerusuhan di Ambon dan sekitarnya merupakan yang terlama dengan kerugian yang terbesar. Ini disebabkan, pola Kerusuhan Ambon sama sekali berbeda dengan yang terjadi pada tempat-tempat lainnya di Indonesia, dan faktor pemicunya juga sangat fundamental, serta meliputi banyak variabel (complicated).
Kerusuhan di Ambon yang mulai terjadi sejak tanggal 19 Januari 1999, diawali dengan terjadinya pertikaian pribadi antara seorang pendatang beragama Islam dengan seorang Anak Negeri Kristen, yang kemudian melibatkan dua kelompok masyarakat berlabel agama, yaitu Kelompok Islam dan Kelompok Kristen. Awal kerusuhan terjadi di Tempat Pemberhentian Mobil Angkutan di Batu Merah, dimana seorang pendatang beragama Islam dan seorang Anak Negeri Kristen, sopir mobil angkutan kota Jurusan Batu Merah, terlibat pertikaian, kemudian si Anak Negeri Kristen meninggalkan lokasi kejadian dan kembali dengan beberapa temannya yang sekampung dan mengejar si pendatang beragama Islam. Si pendatang beragama Islam ini selanjutnya melarikan diri memasuki Desa Batu Merah dan kembali dengan massa Islam yang membawa berbagai senjata tajam, kemudian mengejar si Anak Negeri Kristen dan teman-temannya, sehingga mereka lari memasuki Kampung Mardika, yang berbatasan dengan Desa Batu Merah. Masyarakat Mardika yang melihat massa Batu Merah mengejar massa yang masuk ke dalam kampungnya sebagai tindakan penghadangan, sehingga terjadilah saling melempar batu antar kedua kelompok massa, yang berakhir dengan dibakarnya 4 (empat) buah rumah penduduk warga Mardika. Saat itu, masyarakat pada lokasi-lokasi pemukiman Kristen mulai mengetahui adanya pertikaian antara Mardika dan Batu Merah, dan tampaknya solidaritas kelompok yang telah mengental dan lemahnya budaya lokal sebagaimana dikonstatasi sebelumnya, mendorong keterlibatan kelompok Pemuda Kristen dari Belakang Soya, lokasi terdekat dengan Mardika, secara berkelompok untuk menuju Mardika guna memberi membantu.
Pada waktu yang hampir bersamaan, dalam jarak yang hampir 3 kilometer ke arah barat Desa Batu Merah, sekelompok massa Islam yang berasal dari Soa Bali, Jalan Baru, dan Waihaong, melakukan provokasi terhadap warga Silale yang beragama Kristen, dengan alasan bahwa Desa Batu Merah telah dibakar oleh Orang Kristen. Saat itu, terjadilah saling melempar dengan batu antara kedua kelompok masyarakat ini, dan berakhir dengan dibakarnya 12 (dua belas) buah rumah penduduk dan 1 (satu) buah gereja, pada malam tanggal 19 Januari 1999 itu. Dengan terbakarnya rumah-rumah penduduk Kristen di Mardika dan Silale, serta gereja di Silale, mulailah terjadi akumulasi massa dari kedua kelompok agama di berbagai sudut jalan Kota Ambon, diikuti dengan saling menyerang rumah dan tempat ibadah di berbagai tempat.
Pada tanggal 19 Januari 1999 malam dan dilanjutkan besok harinya, warga lima desa Islam di Jazirah Leihitu, yaitu Wakal, Hitu, Hila Islam, Mamala, dan Morela, mulai melakukan penyerangan terhadap 125 anak-anak remaja Kristen yang berasal dari Kota Ambon yang sedang melakukan kegiatan retreat di Field Marine Station milik Universitas Pattimura di Hila. Akibat penyerangan ini, 6 (enam) orang dari rombongan anak-anak remaja ini terbunuh, sedangkan yang lainnya berhasil menyelamatkan diri melalui laut maupun naik gunung ke Desa Hatiwe Besar dan Desa Tawiri, dengan dibantu oleh penduduk Desa Asilulu, dan warga Buton di petuanan desa Seith.
Tanggal 20 Januari 1999 pagi, warga kelima desa Islam ini menyerang dan membakar rumah-rumah penduduk dan gereja tua di Desa Hila Kristen. Warga Desa Hila Kristen semuanya sempat menyelamatkan diri ke Desa Seith dan Kaitetu yang beragama Islam, dan dibantu oleh penduduk kedua desa ini maupun warga Buton disekitarnya, dan dievakuasi ke Desa Hatiwe Besar dan Desa Tawiri, dengan berjalan kaki melalui gunung. Aksi penyerangan massa dari kelima desa ini kemudian meluas ke arah jalan raya menuju Kota Ambon dengan berjalan kaki, yang disertai dengan pembakaran rumah penduduk dan pembunuhan di lokasi-lokasi; Dusun Telaga Kodok, Dusun Benteng Karang, Desa Hunuth/Durian Patah, Desa Waiheru, Desa Nania, dan Desa Negeri Lama. Ironisnya, dalam perjalanan panjang aksi pembantaian dan pembakaran oleh massa dari kelima warga desa tersebut terhadap pemukiman penduduk Kristen ini, massa melewati beberapa pos dan barak militer, tetapi tidak ada tindakan pencegahan oleh aparat keamanan setempat, kecuali yang dilakukan oleh aparat dari Satuan Brimob di Air Besar, Desa Passo. Dalam aksi pembantaian dan pembakaran ini 34 (tiga puluh empat) warga beragama Kristen meninggal dunia, termasuk seorang pendeta wanita dan seorang pendeta laki-laki, serta ratusan rumah penduduk dan sejumlah gereja, maupun harta benda lainnya terbakar dan dijarah. Alasan aksi pembantaian dan pembakaran serta penjarahan yang dilakukan oleh massa dari kelima desa Islam ini, ialah adanya informasi bahwa Mesjid Al fatah yang menjadi representasi identitas umat Muslim di Kota Ambon sudah dibumi hanguskan oleh Orang Kristen.
Informasi mengenai pembantaian, pembakaran, dan penjarahan atas pemukiman-pemukiman Kristen oleh massa dari kelima desa Islam ini, mengakibatkan sentimen dan solidaritas kelompok di kalangan Umat Kristen di Kota Ambon dan sekitarnya tereksploitasi dan muncul ke permukaan secara tidak terkendali sebagai reaksi atas aksi massa tersebut, sehingga terjadilah penyerangan dalam bentuk pembakaran dan pembantaian terhadap Umat Islam di pemukiman-pemukiman Islam maupun obyek-obyek ekonomi yang sebagian besar dikuasai oleh Umat Islam. Dalam kerusuhan antar kelompok masyarakat di Kota Ambon dan sekitarnya ini, aparat keamanan yang ada, tidak sama sekali berfungsi secara maksimal sesuai tugasnya, malahan menurut penilaian kedua kelompok masyarakat yang sedang terlibat dalam kerusuhan ini, aparat keamanan bertindak diskriminatif. Hal ini terbukti dengan puluhan warga sipil yang meninggal dan luka-luka kena tembakan aparat keamanan, dan seorang aparat anggota Kostrad dari Batalion Linud 431 yang berbasis di Ujung Pandang dan tiba di Ambon tanggal 20 Januari 1999, terbunuh oleh warga sipil di Benteng.
Kerusuhan yang terjadi di Ambon ini kemudian meluas ke berbagai tempat di Maluku, yaitu di Sanana, di Saumlaki, dan di Seram (pada berbagai lokasi). Kerusuhan yang terjadi di luar Ambon ini, berupa pembunuhan dan pembakaran rumah penduduk dan tempat ibadah antar kedua kelompok agama Islam dan Kristen.
Kerusuhan sosial yang sempat terhenti tanggal 24 Januari 1999, kemudian berlanjut lagi pada tanggal 14 Februari 1999 berupa penyerangan massa dari beberapa Desa Islam di Pulau Haruku terhadap Desa Kariu yang beragama Kristen, mengakibatkan puluhan orang korban meninggal dunia dan luku-luka dan ratusan rumah penduduk serta dua buah gereja di Desa Kariu terbakar. Kerusuhan di Kariu ini berdampak pada solidaritas Umat Kristen di Saparua, sehingga terjadi penyerangan pada beberapa pemukiman Islam di Saparua, yang mengakibatkan puluhan rumah penduduk terbakar dan puluhan korban jiwa luka-luka dan meninggal dunia.
Tanggal 23 – 25 Februari 1999 kerusuhan yang bernuansa agama kembali terjadi di Batu Merah Dalam, yaitu penyerangan dan pembakaran rumah-rumah penduduk Kristen oleh massa Islam yang berasal dari Batu Merah dan Kampung Galunggung serta Dusun Rinjani. Dalam kerusuhan ini puluhan korban luka-luka dan meninggal dunia terkena tembakan aparat maupun senjata-senjata tradisional, serta puluhan rumah terbakar.
Tanggal 1 Maret 1999 kembali terjadi kerusuhan yang bernuansa agama di Dusun Ahoru dan Dusun Rinjani, berupa saling menyerang antar massa dari kedua kelompok agama yang berdiam di kedua dusun tersebut. Dalam kerusuhan ini, terdapat sejumlah orang meninggal dunia dan luka-luka, serta sejumlah rumah penduduk terbakar. Kerusuhan ini kemudian dilaporkan oleh Kepala Kanwil Departemen Agama Propinsi Maluku kepada Menteri Agama bahwa warga Muslim yang sedang sholat subuh diserang dan ditembak di dalam mesjid. Laporan ini kemudian dikonfirmasi oleh beberapa tokoh Islam lainnya dalam rangka pemberitaan, sehingga selama beberapa hari ekspose berita dilakukan secara tendensius oleh berbagai media massa nasional baik elektronik maupun cetak. Akibatnya, timbullah gerakan solidaritas Islam secara nasional dengan tujuan ber-jihad di Ambon.
Kerusuhan masih berlanjut secara massal pada tanggal 5 Maret 1999. Ini diduga kuat sebagai akibat munculnya semangat ber-jihad yang dibakar oleh gerakan Islam secara nasional tersebut. Pada tanggal tersebut massa yang semula berkumpul di Mesjid Al Fatah menyerang wilayah di sekitar Gereja Silo, diikuti oleh pembakaran gedung sekolah SD Latihan yang sementara ditempati para pengungsi beragama Kristen dari Silale. Muncullah reaksi balik dari massa yang beragama Kristen, sehingga menyulut kerusuhan di beberapa tempat sekitarnya. Kerusuhan ini menelan cukup banyak korban manusia baik yang luka berat dan ringan maupun yang meninggal.
Disamping garis besar kronologis peristiwa kerusuhan yang digambarkan di atas, sebetulnya terjadi pula beberapa tindak kriminal yang dilakukan secara berkelompok oleh massa Islam tertentu seperti pembunuhan (ditikam atau diparang) orang-perorangan yang beragama Kristen dan penculikan seorang dosen Fakultas Hukum Unpatti yang kebetulan melewati perkampungan warga Islam. Hal yang sama terjadi pula bagi orang Islam yang melewati perkampungan orang Kristen.
Saat ini tampaknya kerusuhan massal sudah bisa dikendalikan oleh aparat keamanan, bahkan telah diupayakan pula penyerahan berbagai senjata tajam dari warga perkampungan atau desa Islam dan Kristen, sehingga dapat mendukung proses rekonsiliasi yang terus-menerus dilakukan. Untuk menciptakan rasa aman dan kenyamanan hidup bagi warga masyarakat kota Ambon dan sekitarnya, diperkirakan paling tidak periode “mengatasi kerusuhan” oleh aparat keamanan ini akan membutuhkan waktu kurang lebih 1 (satu) hingga 2 (dua) bulan ke depan, sebelum memasuki tahap “pemulihan (recovery) hubungan-hubungan sosial” dalam kehidupan bermasyarakat antar kedua kelompok masyarakat.
BAB III
KESIMPULAN DAN PEMECAHAN MASALAH KERUSUHAN AMBON
Berdasarkan uraian singkat mengenai kondisi psiko-sosial dan garis besar fakta lapangan di atas, beberapa kesimpulan yang dapat dikemukakan sebagai berikut:
Kerusuhan yang terjadi di Kota Ambon dan tempat-tempat lain di Maluku, merupakan sebuah hasil rekayasa (entah siapa aktor intelektualnya) untuk tujuan tertentu, antara lain (i) merusak tatatan kultur masyarakat Maluku, dan (ii) mendiskreditkan umat Kristen di Maluku, serta (iii) merusak sistem perekonomian dan sistem pendidikan di Maluku. (iv) memberi aksentuasi dalam rangka merubah stereotip predikat orang Ambon yang dikenal sebagai orang Kristen. Perekayasa kerusuhan ini, adalah orang atau kelompok yang memahami benar kondisi psiko-sosial masyarakat di Maluku, terutama di kalangan Umat Kristen.
Kerusuhan yang melanda berbagai sudut di Daerah Maluku ini, telah dijadikan komoditas politik untuk melemahkan posisi tawar Umat Kristen di Maluku, sebagai salah satu anak kandung Ibu Pertiwi, dalam proses pembangunan bangsa, baik secara nasional maupun lokal. Sebab, kerusuhan ini bukannya tidak mungkin terkait erat dan merupakan kelanjutan dari berbagai tragedi berdarah lainnya di Indonesia terutama di Pulau Jawa yang menelan korban jiwa dan kerugian material dari umat Kristiani.
Nilai-nilai kultural masyarakat di Maluku yang sarat dengan nuansa persaudaraan, yang selama ini hidup dan dipraktekan dalam kehidupan kemasyarakatan, telah berubah menjadi rasa saling mencurigai dan mendendam, antara kelompok masyarakat Kristen dan kelompok masyarakat Islam di Maluku. Tatanan nilai budaya lokal mengalami degradasi bahkan kerusakan akibat menguatnya sentimen nilai universal (agama Islam) dan pengaruh perspektif kebijakan pembangunan yang berlatar belakang pendekatan mayoritas-minoritas.
Pilihan model pembangunan perlu mendapat perhatian pula. Sebab secara de facto, selama ini praktek pembangunan cenderung menjadikan manusia hanya sebagai objek semata. Pertimbangan filosofis yang mengedepankan nilai-nilai humanistik dimana manusia sebagai subjek atau pelaku pembangunan yang proaktif dan produktif, harus diprioritaskan. Pendekatan ini sebetulnya merupakan upaya untuk mewujud-nyatakan nilai-nilai demokratis, karena rakyat atau masyarakat terlibat langsung dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kehidupan mereka.
Disamping itu, berbagai upaya praktis perlu dikembangkan pula terutama untuk memberi pengakuan secara jelas dan tegas (de jure) atas eksistensi komunitas lokal/daerah dengan budayanya. Dengan demikian, beberapa regulasi nasional yang sangat prinsip seperti Pemerintahan Daerah dan Pemerintahan Desa perlu disesuaikan dengan realitas objektif yang menjadi kebutuhan masyarakat lokal di tingkat daerah. Maksudnya, walaupun regulasi tersebut bersifat nasional dan berlaku merata di seluruh wilayah Indonesia, tetapi regulasi itu seyogianya memberi ruang dan peluang bagi upaya-upaya penyesuaian dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat persekutuan adat khususnya di daerah Maluku, termasuk Kota Ambon.
Demikian halnya dengan distribusi dan alokasi kebijakan-kebijakan pembangunan dan hasil-hasilnya yang harus diterapkan berdasarkan prinsip keadilan tanpa pertimbangan mayoritas-minoritas atau koneksitas. Prinsip keadilan yang dimaksudkan ini adalah keadilan yang berorientasi pada kebutuhan dan prestasi. Oleh sebab itu, distribusi dan alokasi dimaksud harus ditujukan kepada mereka atau kelompok masyarakat yang membutuhkan dan bukan sebaliknya; begitu pula dengan rekruitmen yang harus mengakomodir mereka yang memiliki kemampuan teruji, mempunyai komitmen sosial yang tinggi, dan lain-lain, dan bukan yang sebaliknya. Begitu pula dengan kesediaan tanpa reserve dari Pemerintah Pusat untuk secara konsisten memberi alokasi nilai-nilai otoritatif kepada Pemerintah daerah melalui prinsip otonomi yang seluas-luasnya. Alokasi otoritatif demikian akan memungkinkan Pemerintah daerah melakukan pengambilna keputusan yang adaptif dan kondusif dengan tuntutan aspirasi masyarakat, sekaligus mencari peluang-peluang ekonomi baru yang bisa menstimulasi pembangunan dalam berbagai aspek.
Penumpukan kekuatan terutama yang bersifat politis dengan muatan agama atau politisasi agama yang sementara terjadi, harus dapat dikendalikan secara bijak oleh pemerintah. Hal ini disebabkan, penumpukan kekuatan tersebut sangat tidak fungsional dengan kebutuhan pembangunan dalam kerangka memfasilitasi terwujudnya tatanan masyarakat madani yang demokratis. Sentimen atau emosi massa yang primordialistik hanya akan merupakan “bom waktu” yang setiap saat dapat meledak, karena seringkali dieksploitasi untuk kepentingan orang-perorangan atau kelompok tertentu saja.
Dalam konteks nasional, Pemerintah Pusat harus bisa pula menempatkan diri dan berperan secara arif dalam menyikapi tuntutan dan aspirasi masyarakat yang hidup dan berkembang, mengingat realitas kebhinekaan bangsa dalam berbagai aspek kehidupannya. Memenuhi keinginan kelompok tertentu saja dan mengabaikan atau tanpa mempertimbangkan kondisi kelompok-kelompok masyarakat lainnya, hanya akan menciptakan akumulasi masalah yang siap meledak sewaktu-waktu. Dengan demikian, perlu ada konsistensi sikap dan perilaku aparat pemerintah dalam menterjemahkan makna filosofi Bhineka Tunggal Ika dalam berbagai kebijakan pembangunan yang adil dan jujur.
Pada tataran lokal atau daerah, diperlukan pula keadilan dalam distribusi dan alokasi sumber-sumber politik dan ekonomi secara merata berdasarkan prinsip merit system. Dengan demikian, dapat dihindari ketersinggungan sosial ekonomi yang terjadi selama ini. Artinya, kebijakan publik yang diatur oleh baik eksekutif maupun legislatif di tingkat daerah harus sesuai dengan konstelasi sosial budaya dan harapan-harapan yang ada ditengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa struktur sosial di Maluku, khususnya di Kota Ambon bersifat majemuk. Begitu pula dengan kedudukan peranan institusi adat yang perlu direvitalisasi dan dire-interpretasi sesuai aktualita kebutuhan masyarakat dan pembangunan.
Adalah sangat naif dan tidak logis apabila solusi di tingkat lokal menyamaratakan treatment kepada kelompok masyarakat yang bermukim di desa dan di kota. Sebab, struktur sosial budaya, ekonomi dan politik wilayah pedesaan sangat berbeda dengan perkotaan. Bagi wilayah pedesaan, dapat dilakukan penguatan kembali lembaga-lembaga adat seperti Pela dan Gandong serta berbagai hubungan kekerabatan lainnya untuk menciptakan jembatan komunikasi dan interaksi yang intensif antar kelompok masyarakat desa. Upaya penguatan ini harus dilakukan secara menyeluruh, dalam arti menghidupkan pula berbagai lembaga pendukung lainnya seperti penyesuaian atas eksistensi sistim pemerintahan adat, lembaga panas pela, dan lain-lain. Sementara itu, di daerah perkotaan, perlu dipikirkan suatu lembaga yang mampu menjembatani proses silahturahmi antar kelompok masyarakat di kota Ambon; disamping praktek kebijakan publik yang adil dan jujur dalam berbagai aspek pembangunan masyarakat.
Hak-hak dan kewajiban Anak Negeri – Orang Dagang/Pendatang berdasarkan adat yang tidak bertentangan dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia, perlu dipertegas kembali. Hal ini dimaksudkan agar timbul rasa menghormati dan menghargai antar Anak Negeri maupun oleh Orang Dagang. Hal ini harus diikuti dengan pemberdayaan Anak Negeri dalam sektor ekonomi, karena asset yang dimiliki selama ini belum dimanfaatkan secara optimal. Dengan cara demikian, diharapkan bisa meminimalkan gesekan sosial ekonomi, karena pilihan segmen pasar semakin terbuka atau meluas dan dapat dimasuki oleh berbagai lapisan masyarakat Anak Negeri. Apabila hubungan antar Anak Negeri dapat direhabilitasi, maka potensi konflik massal seperti yang terjadi saat ini dapat diredam meskipun ada provokasi misalnya yang dengan sengaja dilakukan oleh orang luar.
Apa yang disebutkan di atas perlu mendapat perhatian tidak saja dari Pemerintah daerah, tetapi juga oleh institusi agama yang mempunyai akses langsung kepada masyarakat dan berada di lini terdepan dalam pembangunan. Artinya, upaya pemberdayaan sumberdaya manusia lokal perlu didukung melalui peran institusi agama, paling tidak dalam rangka melakukan reorientasi nilai untuk menghadirkan ethos kerja yang bertumpu pada profesionalisme yang profitable tanpa mengabaikan prinsip atau nilai-nilai kebersamaan.
Ide tentang pemulangan pengungsi yang terlanjur pergi ke luar Maluku, perlu direspons dan diatur secara bijak. Hal ini dimaksudkan untuk mencari dan menemukan keseimbangan dan daya dukung lingkungan kota Ambon khususnya yang selama ini sudah terlewati. Oleh sebab itu, Pemerintah Daerah khususnya Pemerintah Daerah Tingkat Kota Ambon perlu melakukan kajian yang mendalam agar bisa memperoleh gambaran yang ideal mengenai perbandingan jumlah penduduk dan luas wilayah. Upaya penanganan demikian dapat meminimalkan bentukan atau gesekan sosial ekonomi, karena akan tercipta keseimbangan antara jumlah penduduk dengan lingkungannya, termasuk dengan segmen pasar kerja.
Dalam rangka menghilangkan rasa curiga sekaligus menciptakan rasa keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat, maka upaya penegakan hukum (law enforcement) di berbagai bidang kehidupan masyarakat khususnya yang terkait dengan masalah kerusuhan, harus dilakukan tanpa pandang bulu. Sehubungan dengan ini, lembaga peradilan dan aparat penyidik harus mampu mandiri, bebas dari intervensi kepentingan politik, apalagi terpengaruh oleh kekuatan orang atau kelompok tertentu yang dengan sengaja ingin melakukan intervensi ke dalam proses penegakan hukum.
Untuk memfasilitasi upaya perdamaian, aparat Pemerintah daerah dan instansi terkait diharapkan mampu menumbuhkembangkan manajemen isyu untuk merespons berbagai isyu negatif berpotensi destruktif yang sangat mungkin muncul dan mengganggu proses rekonsiliasi yang diupayakan. Sosialisasi kemajuan yang berhasil dicapai dalam upaya ini, perlu diteruskan kepada seluruh lapisan masyarakat baik di kota maupun desa, sekaligus menjaga hubungan dialogis dengan masyarakat agar mereka ikut merasa terlibat bersama-sama dengan aparat pemerintah dalam mengusahakan perdamaian di Maluku khususnya di kota Ambon.
Kemudian, hal yang tidak kalah pentingnya dan ikut mempengaruhi secara tidak langsung proses rekonsiliasi yang diusahakan adalah tanggung jawab (terutama) pemerintah dan masyarakat Maluku untuk bagaimana menciptakan suasana yang kondusif sambil meluruskan citra orang Ambon khususnya yang beragama Kristen yang terlanjur negatif di mata publik nasional. Sebab bagaimana pun, perlakuan diskriminatif yang akan dan mungkin sementara dialami oleh orang Ambon khususnya yang beragama Kristen di luar Maluku tidak dapat terus-menerus dibiarkan berlangsung, karena akan merangsang munculnya sentimen etnis dan agama yang berpotensi sebagai distorsi dalam proses rekonsiliasi bahkan bisa melahirkan masalah baru di kemudian hari. Oleh sebab itu, secara sistimatis dan intensif, perlu disebar-luaskan berbagai informasi yang tepat dan benar tentang masalah kerusuhan sebagai konsumsi publik umum (bukan sekedar untuk konsumsi intern pemerintah), sekaligus informasi mengenai kemajuan usaha-usaha perdamaian yang telah dicapai.
Hal lain yang perlu dilakukan guna mendukung proses rekonsiliasi yang diupayakan adalah, melakukan pemeriksaan secara ketat di pelabuhan Ambon terhadap arus migrasi yang masuk ke Kota Ambon dari berbagai wilayah di luar Maluku. Pendapat ini bertolak dari analisis yang menempatkan Ambon sebagai bagian integral dari skenario kerusuhan secara nasional. Melalui cara demikian, diharapkan rantai jaringan para perusuh dan provokator bisa diputuskan, sehingga penyelesaian kerusuhan Ambon dapat dilakukan dengan lancar.
Disadari pula bahwa kerusuhan Ambon telah bermuara pada sentimen balas dendam dari para korban. Ini berarti diperlukan terapi khusus yang terkonsepsi dan strategis terhadap para korban, sehingga bisa meminimalkan keinginan balas dendam yang hanya akan melahirkan masalah secara berkepanjangan. Beberapa langkah strategis yang disarankan untuk mengatasi kondisi psikologis ini adalah:
Melakukan penegakan hukum secara tegas dan bijaksana, tanpa pandang bulu. Implementasi law enforcement yang demikian, akan memberi rasa adil dan kepuasan dari para korban terhadap mereka yang secara nyata telah melakukan tindak kriminalitas.
Mengusahakan peran pendampingan (konseling) dengan melibatkan berbagai kalangan yang berpotensi, dengan maksud merangsang kesadaran dan semangat hidup dari mereka yang menjadi korban kerusuhan baik karena kehilangan harta benda maupun nyawa.
Meminta secara serius perhatian para pemuka agama untuk secara sistimatis melakukan pelayanan-pelayanan yang bersifat pastoral agar kehidupan umat khususnya para korban bisa memperoleh penghiburan. Dengan demikian, diharapkan pemulihan kondisi psikologis ini dapat membantu meredanya keinginan-keinginan balas dendam.
BAB IV
PENUTUP
Demikianlah pokok-pokok pikiran yang bisa diberikan dalam rangka ikut melengkapi berbagai konsep dan strategi lainnya yang dimaksudkan untuk “menjinakan” masalah kerusuhan di Maluku khususnya di Kota Ambon. Disadari bahwa, dengan keterbatasan ruang yang tersedia, beberapa ide atau konsep yang dikemukakan dalam pokok-pokok pikiran ini masih memerlukan proses elaboratif lebih lanjut. Oleh sebab itu harapan kami, semoga pokok-pokok pikiran ini bisa dimanfaatkan sebagai stimulasi untuk menemukan solusi yang lebih baik demi dan atas nama keutuhan dan keharmonisan hidup bermasyarakat.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita ucapkan kekhadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkatNya-lah kami dapat menyelesaikan makalah tentang Visi, Misi dan Renstra Kabupaten Asahan ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari makalah ini adalah untuk memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah Sistem Sosial Budaya dengan Dosen Bapak Djunita Warsita sebagai sarana untuk mengetahui tentang keberadaan wilayah Kabupaten / Kota masing-masing berupa Visi, Misi dan Rencana Strategis Kabupaten tersebut.
Dalam hal ini penulis berasal dari salah satu di Sumut yakni Kabupaten Asahan. Sesuai dengan Perda Kabupaten No. 1 Tentang Rencana Strategis Tahun 2002 Pemerintah Kabupaten Asahan Tahun 2001-2005 dengan Visi “Membangun Bersama Rakyat Mewujudkan Masyarakat Asahan yang Sejahtera”. Untuk mewujudkan visi tersebut ditetapkan misi yang dijabarkan ke dalam 5(lima) pilar utama sebagai pemacu berbagai sektor pembangunan yaitu :
1.Peningkatan dan pengembangan SDM dibarengi keimanan dan ketaqwaan.
2.Pemberdayaan kehidupan sosial dan ekonomi yang berbasis kerakyatan.
3.Terwujudnya rasa aman dan tertib melalui upaya penegakkan hukum dan HAM.
4.Terwujudnya aparatur pemerintah yang bersih dan berwibawa.
5.Memberdayakan peran serta masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan.
Untuk mewujudkan hal tersebut dilakukan langkah-langkah kongkrit dan nyata dengan mengharapkan dukungan dari seluruh pihak baik aparatur pemerintah yang bekerja sama dengan masyarakat.
Dengan adanya Renstra ini maka dapat memberikan informasi kepada masyakat umum berupa kondisi perekonomian, keadaan wilayah, upaya-upaya melalui kebijakan strategis sebagai tindak lanjut dari Visi dan misi Pemkab Asahan sehingga dapat memudahkan lembaga legislatif dalam menilai pelaksanaan tugas Bupati Asahan atas program-program yang dilaksanakan.
Saya berharap semoga melalui renstra ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak. Demikian renstra ini disampaikan semoga dapat dipergunakan seperlunya.
Jatinangor, Februari 2006
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI iii
BAB I P E N D A H U L U A N 1
BAB II ISI 2
2.1.Pola Hubungan Sosial Masyarakat Di Maluku Tengah. 2
2.2.Pola Hubungan Sosial Masyarakat Di Kota Ambon. 7
2.3.Proses Melemahnya Hubungan Sosial Dalam Masyarakat Maluku Tengah. 10
2.4.Kerusuhan Ambon Sebagai Implikasi Melemahnya Budaya Lokal. 14
BAB III KESIMPULAN DAN PEMECAHAN MASALAH
KERUSUHAN AMBON 20
BAB IV PENUTUP 27
http://one.indoskripsi.com/node/7725